Qnews.co.id – Delapan tahun berjuang, dua kali menang di pengadilan, namun keadilan tak kunjung datang. Inilah nasib tragis yang menimpa Prof Ing, seorang akademisi yang menjadi korban mafia tanah.
Kasus ini mencuat ke publik setelah kuasa hukumnya, Nathaniel Hutagaol, bersama Forum Mahasiswa Indonesia, menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta.
Mereka mempertanyakan arah penegakan hukum di Indonesia, setelah tanah milik sang Profesor direbut oleh oknum mafia, meski telah ada dua putusan pengadilan yang memenangkan pihaknya.
Dalam orasinya, Nathaniel menyatakan bahwa putusan pengadilan kini terasa tidak lagi bermakna. Bahkan, ia secara simbolik membakar salinan putusan sebagai bentuk protes, karena hingga kini tanah kliennya tak kunjung dikembalikan.
“8 tahun dia berjuang, dua putusan memenangkan dia, 8 tahun seorang Profesor, terus kita mau bicara bagaimana lagi soal penegakan hukum di negara ini, ketika seorang Profesor, lalu bagaimana dengan masyarakat dibawah ini, tentu ini jadi catatan, jika seorang Profesor bisa menjadi korban mafia tanah, maka semua bisa menjadi korban,” kata Nathaniel.
“Karena jika penegakan hukum seperti ini, mafia tanah masih terpelihara, hingga putusan pengadilan tidak bisa menegakkan keadilan jadi buat apa putusannya, karena itu saya gelar aksi untuk bakar putusan, isi putusannya tidak ada gunanya, karena tidak mengembalikan, cape kita berjuang, upaya hukum, negara hukum, putusannya tidak ada gunanya terus ini kah negera hukum teman-teman,” sambungnya.
Nathaniel juga menantang para anggota DPR untuk menjawab satu pertanyaan sederhana: Apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara hukum? Ia menegaskan, jika seorang Profesor saja bisa menjadi korban, maka masyarakat kecil pun sangat rentan.
“Karena ini lah saya ingin menanyakan kepada DPR didepan massa aksi, dengan pertanyaan negara kita negara hukum apa tidak ?. Saya hanya ingin jawaban dari anggota dewan, misal “Ia negara hukum” hanya cukup itu, dan berani gak mereka mempertanggungjawabkan kalau emang negara kita ini negara hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Forum Mahasiswa Indonesia (Formasi) pun menyuarakan keresahan mereka. Mereka mempertanyakan, jika seorang intelektual seperti Profesor Ing saja tak bisa memperoleh keadilan, bagaimana nasib mereka yang berasal dari kalangan petani, buruh, atau rakyat miskin kota?
“Pada prinsipnya aksi ini dilakukan atas adanya keresahan, karena melihat seorang Profesor yang mampu dipermainkan oleh hukum dan ini juga menjadi bahan pertimbangan kami yang masih berstatus mahasiswa, bagaimana nantinya dalam mencari keadilan jika seorang Profesor saja bisa dipermainkan oleh hukum sendiri,” kata Korlap Aksi dari Forum Mahasiswa Indonesia, Pian Andreo.
“Lalu bagaimana kami seorang anak petani dalam mencari keadilan, bagaimna buruh, bagaiman rakyat miskin kota, jikalau seorang Profesor saja saat ini tidak mampu mencari keadilan di negerinya sendiri,” tambahnya.
Formasi juga meminta DPR tak tinggal diam, dan segera turun tangan melihat persoalan ini secara serius, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas nama keadilan dan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat.
“Untuk itu Forum Mahasiswa Indonesia menyuarakan keresahannya dalam kasus ini di depan gedung DPR, menuntut kepada yang katanya dewan perwakilan rakyat untuk segera melihat ada kasus yang sedang dialami oleh prof Ing yang dipecundangi oleh hukum hingga saat ini direbut tanahnya oleh oknum mafia tanah,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Prof Ing Mokoginta menjadi korban mafia tanah yang memenangkan dua putusan inkrah dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri (PN).
Akan tetapi dua putusan tersebut ternyata tak mengembalikan satu sentipun tanah miliknya.
Selain itu, laporan polisi yang ditangani Polda Sulawesi Utara (Sulut) pada tahun 2021 telah menetapkan tersangka dan diterbitkan P-16 oleh Kejaksaan Tinggi Sulut.
Namun pada 2022, kasus ini ditarik ke Mabes Polri dan ditangani oleh Unit III Subdit II Dittipidum. Aneh bin ajaib, nama tersangka mendadak hilang tanpa proses praperadilan.