Qnews.co.id, JAKARTA – Aksi Global Climate Strike di Jakarta yang menyuarakan isu krisis iklim dan krisis demokrasi berujung intimidasi dan kekerasan oleh orang tidak dikenal. Perangkat aksi seperti banner, properti, dan poster diambil secara paksa padahal aksi berjalan dengan damai.
Hal ini terjadi saat massa berkumpul di titik awal, Taman Menteng, dan di titik akhir Dukuh Atas. Bertajuk ‘Bersama melawan darurat iklim dan darurat demokrasi‘, peserta aksi mengkritik oligarki, menyempitnya ruang sipil dan krisis iklim yang mengkhawatirkan
Peneliti EHRD Satya Bumi Eghi Irfansyah menyayangkan sikap kepolisian pada saat kejadian yang mengabaikan serangan terhadap peserta aksi.
“Kami menyayangkan, padahal aksi yang dilakukan peserta Global Climate Strike merupakan sarana yang dijamin negara untuk warganya, sehingga kepolisian seharusnya melindungi hingga aksi selesai,” ujar Eghi di Jakarta, Jumat (27/9).
Aksi tersebut, terang Eghi, sebagai respons terhadap situasi darurat dari dua krisis besar saat ini, yakni krisis iklim dan krisis demokrasi.
Suhu Bumi yang semakin panas, cuaca ekstrem makin sering terjadi, dan degradasi lingkungan kian parah merupakan fakta yang tidak terelakkan.
“Akibatnya, nelayan kesulitan melaut, penyandang disabilitas semakin rentan bencana alam, dan kita sebagai generasi muda harus hidup di planet yang sudah rusak,” paparnya.
Sayangnya, respons pemerintah terhadap mitigasi dan adaptasi krisis iklim masih belum serius. Target iklim tidak memadai, solusi palsu dipromosikan, pembela lingkungan diintimidasi dan dikriminalisasi, serta kebijakan iklim belum mencerminkan keadilan untuk semua.
Senada, Koordinator Climate Rangers Jakarta Ginanjar Ariyasuta membeberkan alasan pergerakan publik akibat wacana revisi undang-undang pemilihan kepala daerah telah menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di ujung tanduk.
Menurut Ginanjar, oligarki dan kelompok elit terus menguasai pemerintahan, sementara kontrol masyarakat sipil kian lemah. Legislasi disusun kilat tanpa partisipasi, massa aksi direpresi, pembela hak asasi manusia dan lingkungan malah dikriminalisasi.
“Di aksi ini, kami menyerukan krisis iklim dan krisis demokrasi yang semakin parah oleh karena kebijakan akhir-akhir ini yang hanya menguntungkan oligarki. Namun kami malah mendapat intimidasi oleh orang tak dikenal,” papar Ginanjar.
Intimidasi terhadap aktivis lingkungan, ungkap Ginanjar, kerap terjadi di rezim Jokowi. Hal itu bisa kita saksikan terhadap Daniel Frits (Karimun Jawa), Cece Jaelani (Gunung Gede), Muhriyono (Pakel), dan Christina Rumahlatu (Maluku Utara).
“Indonesia sudah darurat, baik darurat iklim maupun darurat demokrasi,” tegasnya.
Sebelum menggelar aksi, panitia Global Climate Strike 2024 telah melayangkan surat pemberitahuan sesuai peraturan yang berlaku. Sayangnya, kepolisian tidak menjalankan tugasnya untuk menjamin hak kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Perwakilan Fossil Free UKI Hanayanti Octavia Alam mengeluhkan hal itu. Menurutnya, kehadiran peserta aksi untuk menyampaikan aspirasi secara damai dan tertib. Alih-alih membubarkan kelompok yang mengintimidasi, polisi justru meminta massa aksi Global Climate Strike menyudahi aksi sebelum kegiatan selesai.
Praktik pembiaran seperti ini, kata Hanayati merupakan pelanggaran HAM by omission karena aparatur negara tidak menjalankan tugasnya sehingga menyebabkan hak asasi sekelompok orang terganggu. Massa justru diintimidasi sehingga tidak memperoleh hak atas kebebasan berpendapat.
“Sebagai korban kerusuhan yang disebabkan oleh pihak-pihak yang tidak dikenal, saya dan teman-teman merasa sedih dan marah. Kami datang dengan damai menyuarakan isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, seperti pembangunan PLTU yang seharusnya dihentikan, dan kurangnya kesadaran pemerintah terhadap isu lingkungan yang terjadi di Indonesia,” papar Hanayanti.
Menurut Hanayanti, perangkat aksi yang mereka bawa, telah diambil secara paksa. Perangkat tersebut meliputi 2 buah megaphone, 40 lembar poster, 5 buah banner, 1 buah manekin, 2 buah bendera, 4 properti tanda bahaya, 1 payung, 1 set speaker dan power station panel surya, 2 properti krisis lingkungan; dan properti replika cokelat.
“Selain itu, satu orang peserta aksi mengalami lebam akibat pukulan,” terangnya.
Tindakan perampasan alat peraga aksi dan barang milik orang oleh orang tidak dikenal yang terjadi di hadapan anggota kepolisian, kata Hanayanti harus ditindak karena melakukan tindak pidana perampasan sebagaimana diatur 368 KUHP.
Jika peristiwa ini dibiarkan, justru membuktikan polisi tidak memiliki kemauan untuk menjaga ketertiban umum secara adil.
“Kami melihat seharusnya polisi dapat menggunakan kekuatannya jika tujuan yang hendak dicapai itu sesuai dengan hukum, dalam hal ini menjaga aksi berjalan tertib,” tandasnya.