Qnews.co.id, JAKARTA – Analis Quotient Fund Indonesia Regen Lee menjelaskan hubungan antara harga emas (GLD) dan yield obligasi sebagai hubungan invers di antara keduanya yang mungkin terlalu sederhana.
Yang perlu lebih diperhatikan, kata Regen, adalah yield riil, bukan nominal. Pasalnya, ada sebuah pola yang terjadi ketika yield riil sedang naik, harga emas cenderung turun. Hal itu terlepas dari pergerakan yield nominal.
“Analisis historis yang mendalam menunjukkan pola kenaikan harga emas diikuti oleh penurunan saat yield obligasi tertentu mencapai puncaknya telah terulang beberapa kali,” kata Regen kepada Qnews.co.id, di Jakarta, Jumat (11/10).
Dengan demikian, meskipun saat ini yield obligasi sedang menurun, kondisi pasar masih menunjukkan potensi penurunan harga emas di masa depan, terutama pada saham-saham pertambangan junior.
Investor emas, ujar Regen, perlu lebih memperhatikan yield riil dan pola historis pasar untuk membuat keputusan investasi yang terbaik.
“Karena hubungan antara emas dan yield obligasi lebih kompleks ketimbang sekadar hubungan invers sederhana,” paparnya.
Khusus Perak (SLV) ada yang menarik. Pemerintah Rusia sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan cadangan logam mulianya. Secara signifikan, Rusia berinvestasi senilai 535.5 juta dolar.
“Rencana ini mencakup pembelian sejumlah besar emas, perak, dan logam kelompok platinum seperti palladium, platinum, dan rhodium,” kata Regen.
Keputusan itu didorong oleh beberapa faktor, termasuk keinginan untuk diversifikasi aset, menjaga stabilitas ekonomi di tengah sanksi internasional, hingga mendukung industri pertambangan domestik.
Selain itu, permintaan global untuk logam mulia terus meningkat. Salah satunya adalah komoditas perak yang akan digunakan dalam industri energi terbarukan.
“Dengan menambah cadangan logam mulia, Rusia tidak hanya memperkuat posisi keuangannya di tingkat global, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan industri pertambangan dalam negerinya,” papar Regen.
Hal itu menunjukkan, Rusia sedang aktif membangun kembali cadangan logam mulianya, sebagai bagian dari strategi ekonomi jangka panjangnya. Hal itu didorong oleh berbagai faktor, mulai dari stabilitas ekonomi hingga dukungan terhadap industri domestik.
Sementara Minyak (USO), ditandai dengan ekspor minyak mentah Iran mengalami penurunan signifikan dalam beberapa waktu terakhir, terutama setelah meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel.
“Ancaman serangan Israel terhadap fasilitas minyak Iran telah membuat pasar minyak dunia waspada,” tegasnya.
Jika terjadi serangan, pasokan minyak global, khususnya yang berasal dari Timur Tengah, berpotensi terganggu. Hal itu akan mendorong kenaikan harga minyak mentah dunia secara signifikan.
Meskipun demikian, analis memperkirakan bahwa kenaikan harga minyak tidak akan terlalu drastis karena adanya kapasitas produksi cadangan yang besar dari negara-negara OPEC+. Ditambah lagi, kemungkinan pelepasan cadangan minyak strategis oleh negara-negara konsumen besar seperti AS.
Namun demikian, kata Regen, situasi geopolitik yang tegang di kawasan tersebut tetap menjadi perhatian utama bagi pasar energi global.
“Ketegangan Iran dan Israel juga berpotensi besar mengganggu pasokan minyak global, terutama dari Timur Tengah yang akan mendorong kenaikan harga minyak dunia,” tandasnya.
Quotient Fund Indonesia adalah perusahaan consulting keuangan global, berkantor pusat di Quotient Center Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan dapat dihubungi di hotline 0811-1094-489