Jaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia, BI Ungkap 3 Tantangan Utama

Tantangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di tanah air harus direspons dan dipersiapkan secara matang. Foto: Antara

Qnews.co.id, JAKARTA –  Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung memaparkan tantangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di tanah air. Menjaga SSK, kata Juda, harus direspons dan dipersiapkan secara matang.

“Tantangan yang dihadapi dalam menjaga SSK terus harus kita respons dan harus kita persiapkan, termasuk juga momentum pertumbuhan ekonomi yang harus kita jaga,” ujar Juda Agung, di Gedung Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (2/10).

Bacaan Lainnya

Tantangan pertama, kata Juda, adalah bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan siklus keuangan global yang sudah mulai mengalami pelonggaran seiring pengaruh penurunan Fed Fund Rate (FFR) dan BI Rate pada bulan September 2024, pelambatan inflasi di Amerika Serikat (AS).

Juga berbagai kebijakan stimulus untuk menurunkan tingkat ketidakpastian pasar keuangan internasional. Hal ini mengingat kebutuhan pembiayaan ekonomi semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Di sisi lain, dinamika ekonomi dan keuangan global telah berkembang begitu cepat, termasuk risiko geopolitik Timur Tengah yang memiliki implikasi terhadap ekonomi. Sebut saja, gejolak harga minyak hingga rantai pasok global.

“Karena itu, risiko tersebut harus dicermati dan dikelola dengan baik,” tegasnya.

Peningkatan risiko operasional yang muncul dari digitalisasi keuangan juga menjadi tantangan dalam menjaga SSK.

Digitalisasi, kata Juda, membawa manfaat besar bagi perekonomian dalam bentuk akses keuangan lebih mudah, sehingga mendorong transformasi ekonomi.

“Namun, manfaat-manfaat itu datang dibarengi dengan risiko-risiko baru yang harus diantisipasi,” ujarnya.

Pihak BI menilai ada tiga risiko operasional yang perlu diatasi. Pertama adalah ancaman siber, seperti peretasan malwareransomware, dan phishing yang berkembang dengan intensitas beserta kompleksitas semakin tinggi.

“Problem ini menimbulkan risiko keamanan bagi data pelanggan dan kepercayaan terhadap integritas sistem keuangan Indonesia,” katanya.

Kedua adalah risiko fraud seiring peningkatan penggunaan platform digital yang membuka peluang penipuan. Sebut saja kasus pencurian identitas, transaksi palsu, manipulasi data, hingga judi online yang merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.

Karena itu, BI bersama pihak industri perlu memperkuat fraud detection system untuk mencegah masalah tersebut. Ke depan, artificial intelligence (AI) yang lebih canggih akan dikembangkan guna mendeteksi pola-pola fraud tertentu.

“Misalnya beli bubur ayam tengah malam seribu kali dengan jumlah yang sama, ini kan jelas sesuatu yang perlu dicurigai, anomali, sehingga ini kita deteksi. Itu salah satu contoh, dan ada banyak contoh lainnya, baik itu di level transaksi, di level jumlahnya, di level frekuensinya, ini bisa ditelisik dengan menggunakan AI. Ke depan kita sedang kembangkan itu,” papar Juda.

Ketiga adalah risiko operasional terkait layanan pihak ketiga penyedia teknologi kritikal (third party risk). Infrastruktur sektor keuangan dinilai semakin banyak tergantung kepada penyedia teknologi kritikal seperti cloud service provider seiring dengan meningkatnya jumlah data.

Dengan demikian, tak bisa atau terlalu berat untuk disimpan secara on-premise (sistem penyimpanan dan pengolahan data yang dikelola langsung oleh tim internal IT perusahaan serta berada di sebuah gedung).

Eksposure terhadap pihak ketiga juga semakin meningkat karena konsentrasi segelintir penyedia jasa yang berakibat kepada kegagalan penyedia jasa teknologi kritikal. Hal itu menyebabkan risiko sistemik di sektor keuangan.

“Oleh sebab itu, diperlukan berbagai upaya untuk melakukan manajemen risiko terhadap teknologi seperti cloud,” ujar Juda.

Tantangan selanjutnya adalah risiko perubahan iklim yang menyebabkan bencana seperti banjir, kekeringan, kenaikan permukaan air laut, penurunan nilai aset berbasis fosil, hingga kesulitan pendanaan akibat aktivitas bisnis brown.

Survei persepsi Global Economic Forum mencatat risiko iklim menduduki peringkat kedua dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Selain itu survei menemukan bahwa risiko iklim berada di posisi pertama sebagai risiko terbesar dalam 10 tahun yang akan datang.

“Oleh karena itu, penting bagi sektor keuangan untuk mengintegrasikan risiko perubahan iklim dalam proses bisnis, termasuk bagaimana sektor keuangan mampu mengukur emisi dari berbagai aktivitasnya dan mengurangi dampak lingkungan,” paparnya.

Saat ini, berbagai standar mulai dikeluarkan agar korporasi dan lembaga keuangan bisa mengelola risiko dan peluang terkait dengan iklim.

Caranya melalui standar disclosure yang disusun oleh ISSB (International Sustainability Standards Board) dan BCBS (Basel Committee on Banking Supervision).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan