Qnews.co.id, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami dugaan aliran dana kepada Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong. Tom Lembong merupakan salah satu tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Agung Harli Siregar mengungkapkan kerugian negara masih terus dihitung untuk jumlah pastinya.
“Terkait kerugian negara yang sudah disampaikan, ini akan terus dihitung pastinya seperti apa. Mengenai aliran dana itu sedang didalami juga,” ujar Harli di Gedung Kejagung, Jakarta, Rabu (30/10).
Ia memaparkan, penyidik juga terus mengumpulkan keterangan dari tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) beserta 8 perusahaan yang diduga terlibat kongkalikong di kasus impor gula.
“Misal dari 8 perusahaan itu. Kan mereka dapat keuntungan. Apakah ada aliran dana terhadap siapa saja? Itu nanti sangat bergantung pada keterangan yang akan berkembang,” jelasnya.
Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan dua tersangka, yakni Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan Periode 2015–2016 dan CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung mengungkapkan keterlibatan Tom Lembong dimulai pada 12 Mei 2015, saat rapat koordinasi antarkementerian diadakan. Rapat juga menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus sehingga tidak diperlukan importasi gula.
Hanya saja, di tahun yang sama, Tom Lembong yang menjabat Menteri Perdagangan justru memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP. Selanjutnya gula impor itu akan dijadikan gula kristal putih.
Persetujuan impor yang diteken Tom Lembong ternyata tidak melewati skema rapat koordinasi dengan instansi terkait. Impor juga tidak didukung dengan rekomendasi dari kementerian terkait untuk mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri.
Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, kata Qahar, pihak yang diizinkan untuk mengimpor gula kristal putih hanya kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada 28 Desember 2015 digelar rapat koordinasi di bidang perekonomian digelar. Salah satu pembahasannya terkait potensi Indonesia kekurangan gula kristal putih untuk tahun 2016, sebanyak 200.000 ton.
Untuk mewujudkan stabilisasi harga dan pemenuhan stok gula nasional, di bulan November – Desember 2015, CS memerintahkan bawahannya untuk bertemu dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula. Salah satunya adalah PT AP.
Delapan perusahaan tersebut diketahui mampu mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih. Ini memunculkan pertanyaan, karena perusahaan tersebut hanya mengantongi izin pengelolaan gula rafinasi.
Setelah itu, PT PPI seolah-olah membeli gula gula kristal putih, padahal gula tersebut dijual oleh 8 perusahaan itu kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi seharga Rp16.000 per kilogramnya. Harga itu lebih tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET) yang berlaku, yakni Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar.
“Akibat pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang menjadi gula kristal putih, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari 8 perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogramnya,” papar Qohar.
Atas perbuatan para pelaku, negara menjadi rugi paling sedikit Rp400 miliar.