Qnews.co.id, JAKARTA – Analis Quotient Fund Indonesia Regen Lee mengungkapkan permintaan emas (GLD) secara global pada paruh pertama tahun ini menunjukkan dinamika yang menarik. Tiongkok, sebagai konsumen emas terbesar di dunia mengalami penurunan permintaan.
“Tiongkok mengalami penurunan 30% pada permintaan perhiasan akibat perlambatan ekonomi dan gejolak di sektor properti,” kata Regen kepada Qnews.co.id di Jakarta, Selasa (15/10).
Sebaliknya, permintaan investasi emas di Tiongkok justru melonjak tajam 70% karena investor mencari aset aman.
Di India, permintaan perhiasan, kata Regen, juga sedikit menurun sebesar 5%, namun tidak sedrastis Tiongkok.
Faktor-faktor seperti harga emas yang masih tinggi, musim panen yang kurang baik, hingga pemilihan umum (pemilu) menjadi penyebabnya.
“Namun, permintaan investasi emas di India justru tumbuh pesat sebesar 42%,” kata Regen.
Untuk paruh kedua tahun ini, permintaan emas Tiongkok diperkirakan akan tetap melemah, sementara permintaan di India akan tumbuh lebih kuat sebesar 13% untuk perhiasan dan 18% untuk investasi.
“Secara keseluruhan, permintaan emas global diprediksi tumbuh positif sebesar 4%, meskipun dengan tingkat yang lebih moderat jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya,” paparnya.
Sementara itu, perak (SLV) sekitar 60% produksinya berasal dari penambangan logam dasar, terutama sebagai produk sampingan dari timah, seng, dan tembaga.
“Pasar konsentrat seng dan tembaga diperkirakan masih akan mengalami defisit pada tahun ini,” katanya.
Hal itu disebabkan oleh penurunan produksi tambang seng dan meningkatnya kapasitas peleburan tembaga karena pasokan tambang meningkat.
Biaya pengolahan spot yang ditawarkan oleh industri peleburan kepada para penambang untuk hak melebur konsentrat logam, kini telah jatuh ke wilayah negatif pada tahun ini.
“Ini menunjukkan pasar yang ketat untuk konsentrat tembaga dan seng,” jelasnya. Akibatnya, pasokan produk sampingan perak cenderung dibatasi, dan area pasokan perak lainnya juga ikut menderita.
Sementara itu, produksi perak Peru telah menurun secara stabil sejak 2017, terutama akibat penutupan tambang perak utama. Produksi tahunan pada tahun 2023 yang mencapai 97,8 moz ternyata lebih rendah 41 moz dibandingkan pada tahun 2017.
“Karena sebagian besar pasokan perak utama merupakan produk sampingan dari logam lainnya, hal itu menyebabkan perak tidak elastis dan defisit yang jelas antara pasokan dan konsumsi,” terang Regen.
Permintaan perak diperkirakan akan meningkat sebesar 2% tahun ini menjadi 1.219 moz, sementara pasokan, hasil bersih dari daur ulang, diprediksi akan menyusut sebesar 1% tahun ke tahun
Khusus minyak bumi (USO), harganya mengalami penurunan tajam dalam beberapa hari terakhir. Sebut saja harga minyak mentah Brent turun 1,8% dan WTI turun 2,1%.
“Penurunan itu terjadi akibat melemahnya ekonomi Tiongkok, tercermin dari data inflasi September yang masih lebih rendah dari ekspektasi, yakni hanya sebesar 0,4%,” katanya.
Hal itu mengindikasikan penurunan permintaan minyak dari negara konsumen terbesar dunia. Selain itu, aktivitas penjualan singkat (short selling) yang marak di pasar minyak juga turut menekan harga di level tertentu.
Di sisi lain, meskipun ada ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang bisa mendorong kenaikan harga, pasar justru lebih fokus pada melemahnya permintaan global.
“Sentimen negatif ini sangat dominan dalam beberapa bulan terakhir, dengan banyaknya pelaku pasar yang masih bersiap melakukan penjualan pendek minyak jika ada peluang,” tutupnya.
Quotient Fund Indonesia adalah perusahaan consulting keuangan global, berkantor pusat di Quotient Center Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan dapat dihubungi di hotline 0811-1094-489