Tok! MA Tolak Kasasi JPU, Vonis Bebas Fatia Haris Berkekuatan Hukum Tetap

Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti berikan keterangan kepada wartawan usai diperiksa sebagai tersangka kasus kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, Senin (21/3/2022). Foto: ANTARA

Qnews.co.id, JAKARTA – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) mendapatkan informasi bahwa kasasi yang diajukan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah diputuskan ditolak oleh Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung.

Berdasarkan keterangan dari website Mahkamah Agung, Fatia Maulidiyanti teregister dengan nomor perkara 5714 K/Pid.Sus/2024 dan Haris Azhar dengan nomor perkara 5712 K/Pid.Sus/2024, keduanya telah diputus pada 11 September 2024 oleh tiga majelis hakim yakni Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum., (Ketua), Ainal Mardhiah, S.H., M.H., (Anggota Majelis 1) dan Sutarjo, S.H., M.H., (Anggota Majelis 2).

Bacaan Lainnya

“Ditolaknya kasasi JPU oleh Mahkamah Agung telah menguatkan vonis bebas terhadap Fatia dan Haris pada putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur,” tulis Tim Advokasi Untuk Demokrasi di Jakarta, Rabu (25/9).

Fatia dan Haris dihadapkan ke persidangan akibat laporan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Pelaporan itu terkait dengan podcast NgeHAMtam di kanal youtube Haris Azhar berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.

Adapun materi dari konten youtube tersebut merupakan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu yang dilakukan oleh 9 lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia.

Persidangan yang berlangsung di PN Jakarta Timur berjalan selama hampir 9 bulan, terhitung sejak sidang pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan pada 3 April 2023.

Kemudian pada 8 Januari 2024, keduanya diputus dibebaskan dari segala tuntutan maupun dakwaan karena tidak terbukti melanggar tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh JPU melalui Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.

Melalui putusan itu, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai Mahkamah Agung telah turut menjaga marwah kebebasan sipil yang menjamin sekaligus menekankan bahwa warga negara memiliki hak untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir dipidana.

“Putusan itu juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan sebagaimana dikenal dengan konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP),” kata tim advokasi.

Tak hanya itu, putusan tersebut sekaligus telah menyalakan harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan khususnya di Papua.

Tim advokasi TAUD menilai, dalam putusan tingkat pertama, majelis hakim mengakui beberapa hal yang diungkap dan telah telah menjadi fakta persidangan seperti adanya conflict of interest oleh Luhut Binsar Pandjaitan terkait praktik pertambangan di Papua.

Fakta itu dilihat dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining.

Dalam persidangan pun terbukti bahwa LBP sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga mustahil tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.

“Oleh karena itu, kami memandang telah terdapat dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan serta jejaringnya,” tulisnya.

Karena itu, tim advokasi menilai, sangat penting bagi aparat penegak hukumnya segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum tersebut.

“Lebih jauh, putusan ini sudah sepatutnya menjadi acuan bagi APH untuk memulai investigasi conflict of interest Luhut Binsar Pandjaitan,” tulis tim advokasi.

Selain itu, pemerintah juga harus secara serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian cepat yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.”

Sementara terkait dengan prilaku publik seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang melakukan kriminalisasi terhadap penelitian, pendapat, dan ekspresi yang sah, selain pada dasarnya seharusnya penuntutan tidak dapat dilakukan, maka merujuk pasal 314 KUHP, Luhut tidak lagi bisa melaporkan orang yang menyebut dia memiliki konflik kepentingan atau lebih khusus bermain tambang di Papua.

“Dan tidak hanya Luhut, seluruh pihak yang ada dan disebut dalam riset kajian cepat yang kemudian dikuatkan dalam putusan juga tidak dapat melakukan pelaporan pidana pasal penghinaan,” kata tim advokasi.

Hadirnya putusan MA seharusnya menjadi yurisprudensi bagi majelis hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus-kasus kriminalisasi terkait para aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup.

Berdasarkan catatan tim advokasi, terdapat berbagai kasus kriminalisasi serupa seperti dialami Daniel Fritz Tangkilisan pejuang yang berupaya melestarikan Karimunjawa, Muhriyono seorang petani Pakel yang merebut lahannya karena dirampas pihak swasta hingga Sorbatua Siallagan seorang ketua masyarakat adat yang melawan perampasan tanah adat di Simalungun yang hingga kini terus memperjuangkan keadilan.

“Atas kasus-kasus tersebut sudah sepatutnya para Majelis Hakim yang mengadili kasus kriminalisasi aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup berani memutus bebas sebagaimana dalam perkara Fatia dan Haris,” tutup tim advokasi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan