Benarkah Arus Kas Pertamina Hulu Rokan Berdarah-darah dan Siapa yang Harus Bertanggungjawab ?

Qnews.co.id – Hari ini adalah genap empat tahun penuh Wilayah Kerja Migas Blok Rokan diambil alih pengelolaannya oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 9 Agustus 2021 silam.

Hari ini pula, terbukti PT Pertamina Hulu Rokan gagal menaikan produksi minyak Blok Rokan menjadi 400.000 barel perhari sesuai harapan ketika Presiden Joko Widodo meninjau Blok Rokan pada 5 Januari 2023 silam.

Bacaan Lainnya

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Sabtu (9/8/2025) di Jakarta.

“Ironisnya, kegagalan tersebut disertai arus kasnya yang berdarah-darah. Ini adalah suatu realitas yang menyedihkan akibat beban-beban salah strategi meningkatkan produksi yang membuat keekonomian WK Blok Rokan jadi tekor,” ungkap Yusri.

Sebelumnya, lanjut Yusri, Tempo edisi 22 September 2023 telah memberitakan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan beralih skema kontrak dari Gross Split ke Cost Recovery untuk menyelamatkan diri dari berdarah-darahnya keuangannya.

Termasuk PT PHR, salah satu anak usaha Subholding PT Pertamina Hulu Energi yang lagi menunggu persetujuan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri ESDM.

“Achandra Tahar mantan Wakil Menteri ESDM sebagai penggagas skema Gross Split dengan menggunakan konsultan Mackenzie saat itu tampaknya harus ikut bertanggungjawab juga karena diduga sebagai salah satu faktor menurunnya minat investor untuk berinvestasi di sektor hulu migas,” kata Yusri.

Menurut Yusri, begitu juga dengan tokoh Jaffee Arizon Suardin alias Buyung Jafee.

“ntah bagaimana prestasinya, kok bisalah BPI Danantara menunjuk dia sebagai Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) sejak 13 Juni 2025? Dia adalah mantan Dirut PHR dan penebar angin sorga produksi minyak nasional 1 juta barel perhari yang tampaknya harus ikut tanggung renteng atas kegagalan pengelolaan Blok Rokan, posisi strategis Direktur Infrastrutur dan Logistik adalah kordinator Optimasi Hilir yang sangat menentukan skema impor minyak mentah dan BBM. Hubungan Achandra dengan Buyung Jafee ibarat lepat dengan daun,” ungkap Yusri.

Sebab, kata Yusri, jor-joran melakukan pemboran sekitar 1.600 sumur mulai saat transisi hingga saat ini dan kesalahan pemilihan tehnologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menjadi biang kerok penyebab kegagalan untuk lapangan yang sudah mature yang tingkat penurunan produksinya secara alamiah cukup tinggi.

“Padahal, PT CPI sejak lama sudah mengharamkan melakukan pemboran jor-joran untuk menahan laju penurunan dan peningkatan produksi Blok Rokan. Mereka lebih memilih menerapkan metoda EOR yang terbukti berhasil. Namun Pertamina malah sejak awal melakukan langkah kebalikannya,” beber Yusri.

Setidak-tidaknya, kata Yusri, dibutuhkan biaya rata-rata sekitar USD 2,5 juta per sumur, mulai dari biaya persiapan lokasi dan infrastruktur serta sewa rig dan proses pemboran (lumpur bor dan cementing) serta pengelolaan limbah bor hingga pemasangan kepala sumur dan memasang pipa ke stasiun pengumpul minyak (gathering station). Jika 1.600 sumur, maka kocek PHR sudah sobek sebesar sekitar USD 4 miliar.

“Kemudian penggunaan tehnologi Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR) yang kurang tepat oleh PHR bisa menambah sobek kantongnya sebesar Rp 5,18 Triliun. Nilai tersebut berdasarkan persetujuan Plan of Development PoD CEOR oleh SKK Migas Lapangan Minas Tahap 1 senilai Rp 1,48 triliun dan PoD Steam flood EOR Lapangan Rantau Bais Tahap 1 sebesar Rp 3,7 triliun, yang katanya bagian dari Komitmen Kerja Pasti PHR sebesar USD 500 juta ketika menang tender WK Rokan di Ditjen Migas Kementerian ESDM,” ungkap Yusri lagi.

Lebih lanjut Yusri membeberkan, indikasi kegagalan penggunaan metode CEOR tersebut sudah terlihat nyata saat ini akibat kurang tepatnya pilihan jenis CEOR atau injeksi kimia senilai Rp 1,48 triliun.

“Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari beberapa kali pengujian core flood menggunakan native core (core riil asli) lapangan Minas, ketiganya menghasilkan total Recovery Faktor (RF) setelah water flood, chemical flood dan chase water di kisaran 60 persenan, masih jauh dari pengujian menggunakan core synthetic yang bisa mencapai 90 persenan,” ungkap Yusri.

Dikatakan Yusri, CERI memberikan peringatan dini. “Kesemberonoan pemilihan tehnologi CEOR dan apalagi berbau amis atur-mengatur, kami pastikan akan berujung pahit di gedung bundar atau kantor kuningan Jakarta,” tegas Yusri.

Jadi, kata Yusri, jika mau dihitung secara sederhana dan bodoh-bodohan, dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah USD 70 perbarel, maka total biaya pengeboran ditambah biaya CEOR sebesar USD 4,3 miliar, maka kita akan memperoleh minyak mentah sebanyak 61.430 juta barel atau 42.000 barel perhari selama 4 tahun.

“Selain itu, pembangunan pipa Blok Rokan sepanjang 365 Km hasil investasi PT Pertagas sebesar USD 300 juta atau setara Rp 5 triliun (kurs USD Rp 16.250) juga diduga bermasalah yang akan menambah daftar panjang kerumitan di Blok Rokan,” papar Yusri.

Hal tersebut menurut Yusri terungkap ketika Dirut PHR, Rubi Mulyawan dalam program Energy Corner kepada CNBC Indonesia pada 10 Mei 2025 enggan menyebut angka produksi Blok Rokan dan hanya berkata untuk semester 1 tahun 2025 belum mencapai target.

“Sementara di media yang sama dikatakan produksi minyak Blok Rokan di tahun 2024 hanya 158.167 barel perhari. Namun ketika alih kelola pada 9 Agustus 2021 dari PT CPI kepada PT PHR angka produksi Blok Rokan 158.500 barel perhari,” imbuh Yusri.

Yusri mengingatkan, Blok Rokan adalah salah satu tulang punggung Pertamina selain Blok Banyu Urip sebagai penopang lifting minyak nasional saat ini.

“Jika baru-baru ini Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 30 Juli 2025 sudah sesumbar menyatakan produksi minyak nasional sekarang 608.000 barel perhari dan pertama kali melampaui target ABPN 2025, sebaiknya bersabar sedikit dan peningkatan itu lebih disebabkan on streamnya beberapa blok migas yang sudah lama proses penyelesaian fasilitas produksinya. Lantaran hingga saat ini kita belum dengar adanya giant discovery migas yang bisa membuat lompatan yang tinggi untuk produksinya. Lazimnya nanti di akhir tahun 2025 akan terlihat secara utuh dan nyata produksi migas nasional sepanjang tahun 2025,” ungkap Yusri.

Oleh sebab itu, kata Yusri, Presiden Prabowo Subianto harus berhati-hati atas semua masukan dari pembantunya terkait peningkatan lifting migas untuk ketahanan energi nasional. “Jangan sampai kena prank oleh pembantunya yang punya agenda lain,” pungkas Yusri.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan