Qnews.co.id, JAKARTA – Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengungkapkan kekhawatiran atas tren utang yang kini hampir menyentuh angka Rp8.000 triliun, yang menurutnya dapat berdampak besar pada stabilitas ekonomi dan fiskal Indonesia di masa depan.
Tauhid menekankan bahwa lonjakan drastis ini tidak hanya terjadi secara tiba-tiba, namun telah berkembang selama satu dekade terakhir.
“Pada 2014, utang kita masih sekitar Rp2.600 triliun. Kini, hanya dalam waktu sepuluh tahun, angkanya melonjak hingga ribuan triliun,” ujar Tauhid saat dihubungi Qnews.co.id pada Kamis, (31/10).
Ketergantungan Indonesia terhadap utang, menurut Tauhid, akan menekan kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk belanja pembangunan dan barang publik lainnya.
Ia mengatakan salah satu penyebab utama adalah rendahnya tingkat tax ratio (rasio pajak) yang saat ini hanya sekitar 10%. Dengan kondisi ini, penerimaan pajak masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan anggaran, apalagi jika harus menutup utang.
“Rendahnya tax ratio menjadi masalah serius. Dengan pendapatan pajak yang terbatas, pemerintah perlu mencari dana tambahan melalui utang hanya untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang yang ada,” jelasnya.
Dengan kata lain, rendahnya tax ratio semakin memperlebar celah fiskal yang memaksa pemerintah berutang lagi setiap tahunnya.
Tauhid juga menggarisbawahi besarnya alokasi anggaran untuk pembayaran pokok dan bunga utang, yang berkisar antara Rp300 hingga Rp600 triliun per tahun. Anggaran ini pada akhirnya menyusutkan ruang fiskal pemerintah dalam mengalokasikan belanja modal yang dapat mendorong pembangunan ekonomi lebih lanjut.
“Pemerintah semakin tertekan dan ruang fiskal menjadi semakin sempit. Ketidakmampuan untuk meningkatkan belanja secara optimal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” kata Tauhid.
Ia juga menekankan bahwa pembengkakan utang berarti menurunkan kapasitas fiskal untuk generasi mendatang.
“Generasi masa depan akan dibebani oleh kewajiban pembayaran utang, sehingga kesempatan untuk melakukan ekspansi fiskal pun berkurang,” tambahnya.
Dalam konteks ini, Tauhid menyoroti tantangan besar yang akan dihadapi oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan beban utang yang diwariskan, pemerintahan baru perlu memiliki strategi yang matang untuk menekan laju utang dan mengelola fiskal dengan bijak.
Menurutnya, ekspansi fiskal ke depan kemungkinan besar akan sulit terealisasi karena keterbatasan ruang fiskal, terutama akibat kenaikan utang selama pandemi Covid-19.
“Dengan terbatasnya ruang fiskal, implementasi berbagai program besar, termasuk Asta Cita dan inisiatif lainnya, mungkin akan sulit diwujudkan sepenuhnya,” jelas Tauhid.
Ia menegaskan pentingnya pengelolaan utang yang bijaksana agar pembangunan ekonomi tidak membebani generasi mendatang.
Ruang fiskal sendiri didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran tanpa membahayakan stabilitas keuangan jangka panjang.
“Dalam konteks ini, prioritas utama pemerintahan mendatang adalah bagaimana mengelola utang agar tetap berkesinambungan, tanpa membatasi potensi ekonomi Indonesia di masa depan,” tuturnya.