Qnews.co.id – Rencana Presiden Prabowo Subianto menaikkan rata-rata Upah Minimum Provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5 persen membuat sumringah para kaum buruh.
Namun, dilain sisi kenaikan upah buruh tersebut menjadi ancaman bagi perusahaan korporasi. Pasalnya, akan membebani struktur biaya operasional.
Khususnya bagi sektor padat karya. Menurut pengusaha, kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar domestik maupun internasional.
“Hal ini dikhawatirkan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” demikian ditulis Apindo dalam keterangannya, dikutip Sabtu (2/12/2025).
Menurut Apindo, kenaikan upah minimum bukan tentang setuju atau tidak setuju, tapi persoalan mampu atau tidaknya pengusaha untuk memenuhi.
Jika perusahaan tak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, maka ada beberapa keputusan yang bakal diambil ke depan.
“Yaitu penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu,” tulis Apindo.
Hingga saat ini pengusaha sedang menunggu penjelasan pemerintah terkait dasar perhitungan yang digunakan pemerintah untuk menentukan kenaikan 6,5 persen tersebut.
Menurut Apindo, belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini.
Apindo meminta pemerintah menjelaskan bagaimana memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual.
Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut.
Meski dipertanyakan oleh pengusaha, keputusan Prabowo itu disambut oleh serikat buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Elly Silaban, mengatakan, penetapan ini merupakan kabar baik karena pemerintah mengacu pada Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024.
Elly mengatakan nilai kenaikan 6.5 persen sudah melalui kajian yang mendalam dari pemerintah, meski sedikit di bawah keinginan KSBSI yakni 7 persen.
“Kami menghormati keputusan presiden tersebut dan semoga saja unsur pengusaha dapat menerima ini,” ujarnya, Sabtu (30/11/2024).