Qnews.co.id – Keputusan Direksi dan Manajemen Pertamina menandatangani kontrak pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) dengan Cheniere Corpus Christi Liquefaction (CCL) pada 2013–2014 dinilai tepat dan relevan dengan kondisi energi Indonesia saat ini.
Tuduhan KPK bahwa impor LNG CCL telah merugikan negara USD 113,7 juta adalah kerugian realisasi di masa pandemi covid 19, yaitu hanya pada tahun 2020 dan 2021 saja, sementara realisasi kontrak suplai LNG mulai berlangsung sejak 2019 hingga 2039 selama 20 tahun.
Namun jika merujuk UU Nomor 2 Tahun 2022 jika muncul kerugian di era global pandemi covid 19 adalah kerugian yang dikecualikan menurut Pasal 27 Ayat 1 bukanlah kerugian jika kebijakan dibuat dengan itikad baik.
Menurut sebuah laporan internal Pertamina tentang Penyampaian Data Laporan Profit and Loss Transaksi Pembelian dan Penjualan Kargo LNG dari Kontrak LNG Corpus Christi Tahun 2019-2024, secara kumulatif hingga akhir Desember 2024, Pertamina sudah meraup untung USD 97,6 juta.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman pada acara Podcast PHD Poempida Hidayatulloh, Senin (11/8/2025).
“Kontrak jangka panjang hingga 2040 itu tidak hanya untuk kebutuhan internal Pertamina (own use), tetapi juga untuk menjamin pasokan gas bagi PLN, PGN, pabrik pupuk dan sektor strategis lainnya, jika bergeser waktu kebutuhan berdasarkan neraca gas yang diterbikan oleh Kementerian ESDM untuk 2011 sd 2025 disebabkan berjangkitnya wabah Covid 19” ungkap Yusri.
Bahkan, lanjut Yusri, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah kembali berencana mengimpor LNG dari terminal serupa di Amerika Serikat. Hal ini tentunya adalah bukti bahwa kontrak tersebut bukanlah tindakan yang merugikan negara, melainkan langkah strategis mengamankan energi nasional di tengah tren defisit gas domestik.
“Tidak ada niat buruk (mens rea) dari jajaran Direksi dan Manajemen Pertamina saat itu. Justru pengadaan LNG CCL terbukti menopang pasokan energi kita,” ungkap Yusri.
Kontrak Diubah di Era Direksi Baru
Lebih jauh Yusri membeberkan, kontrak LNG CCL 2013–2014 sendiri telah diubah melalui perjanjian baru pada 20 Maret 2015 oleh Direktur Utama Pertamina saat itu, Dwi Soetjipto, dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Washington DC bersama Presiden AS Barack Obama pada Oktober 2015.
Dengan perubahan ini, kata Yusri, Direksi dan Manajemen Pertamina sebelum 2015 tidak lagi memiliki kewenangan maupun kendali atas kinerja pengelolaan LNG-CCL hingga 2040.
“Kalau logikanya seperti itu, terdakwa disuruh bertanggung jawab sampai 2040. Kalau untung? Negara, direksi, dan komisaris yang menikmati. Kalau rugi? Yang lama yang disalahkan, ini aneh bin ajaib” ujar Yusri.
Selain itu, sambung Yusri, sejumlah kontrak LNG lain, termasuk dengan Total Gas and Power (2016), Chevron Eni Rapak Ltd (2016), Eni Muara Bakau, Woodside Energy Trading Singapore (2017), hingga Mozambique LNG1 Company Pte Ltd (2019), ditandatangani pada periode kepemimpinan setelah 2014, yaitu Dwi Sucipto, Elia Masa Manik dan Nicke Widyawati. Beberapa di antaranya bahkan dibatalkan, yang tetap menimbulkan potensi kerugian biaya negosiasi, kompensasi dan biaya lainnya atau “sunk cost”.
Sorotan Soal Kerugian Negara
Sementara itu, mengenai persidangan LNG CCL itu, Yusri juga menyatakan bahwa pihak pembela terdakwa Karen Agustiawan menegaskan bahwa kerugian negara menurut hukum harus berdasarkan hasil audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan estimasi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyebut kerugian negara harus nyata, pasti, dan telah terjadi.
“Karen Agustiawan, terdakwa dalam perkara ini, tidak pernah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi (LHPI) BPK RI meskipun sudah memintanya melalui penasihat hukum. Kondisi ini dinilai melanggar hak pembelaan sesuai Pasal 72 KUHAP,” ungkap Yusri.
Lebih lanjut, kata Yusri, tanpa adanya bukti suap, gratifikasi, atau aliran dana ke terdakwa, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dianggap tidak terpenuhi.
Peringatan Potensi Kerugian Lebih Besar
Sementara itu, Yusri juga mengungkapkan, dalam surat terbuka pada 25 September 2023, Karen telah mengingatkan Presiden bahwa kontrak LNG memiliki klausul yang memungkinkan CCL membatalkan perjanjian secara sepihak jika Pertamina dianggap melanggar ketentuan.
“Jika terjadi, potensi kerugian minimal diperkirakan mencapai USD 127 juta, belum termasuk klaim pembeli hingga 2030 serta kerugian immateriil seperti reputasi Pertamina di industri migas global, jika terjadi ini cilaka 12” pungkas Yusri.(*)