Qnews.co.id, JAKARTA – Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini mengingatkan tentang utang negara sebagai masalah yang perlu dikritisi. Itu karena porsi utang menjadi pengeluaran terbesar dalam APBN, di samping penggunaan utang luar negeri yang ternyata tidak efisien.
Menurut Didik, pada 2021 dan 2022 utang Indonesia mencapai 1.500 triliun dalam bentuk SBN, sebuah angka yang luar biasa karena tidak ada kontrol dari parlemen.
“Hal itu disebabkan tidak adanya check and balances dan tidaknya ada demokrasi, itulah yang menyebabkannya menjadi ugal-ugalan dan menyebabkan Jokowi mewariskan utang ini yang menjadi beban negara ke depan” kata Didik dalam diskusi Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan di Jakarta, Minggu (15/9)
Prof. DIdik menambahkan, “Prabowo sudah diingatkan oleh Faisal Basri dan mengatakan kalau Prabowo meneruskan kebijakan Jokowi, Insyaallah akan krisis,”
Hal itu, menurut Didik terkait dengan kebijakan fiskal yang defisit, karena memang fundamentalnya tidak prudent. “Dimana defisit dalam batas tertentu tidak dapat diterima, terutama dalam saat krisis, masa krisis justru dijadikan kesempatan untuk mengeruk utang sebanyak-banyaknya oleh Jokowi,” paparnya.
Hal lain, ungkap Prof. Didik, Faisal Basri kerap mengkritik pemerintah terkait hilirisasi, dimana sumber masalahnya terletak pada deindustrialisasi. Hilirisasi versi Faisal Basri sebaiknya diformatkan menjadi industrialisasi, karena dari sisi akademik lebih berbunyi, “Industri ini yang paling jeblok saat BMP (Bobot Manfaat Perusahaan) turun di bawah 50% dan tidak ada kebijakan industri sehingga mustahil untuk tumbuh 6-7%, apalagi 8%.”
Karena itu, target pertumbuhan ekonomi 8% menurut Faisal Basri adalah target yang Ngawur. “Kiranya hal itu adalah isu paling penting, tetapi selama industri jeblok maka jangan harap ekonomi akan tumbuh dengan baik” tegas Prof. Didik.
Hal berikutnya yang juga penting adalah defisit neraca transaksi berjalan terjadi karena ekspor Indonesia sudah kalah dengan Vietnam, dan tak lama lagi akan disalip oleh Bangladesh. Masalah pembangunan infrastruktur seperti kereta api cepat, juga telah diingatkan oleh Faisal Basri bahwa kondisi terburuk sampai kiamat pun tidak akan pernah lunas.
Senada, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menyampaikan wasiat Faisal Basri kepada kaum muda untuk tetap lantang berbicara karena mereka adalah penerus yang punya kepentingan di masa depan.
“Faisal Basri mengkritik utang-utang yang ada sekarang, karena yang menanggung utang adalah generasi ke depan” terang Esther.
Mengambil contoh yang sama oleh Prof. Didik, menurut Esther dirinya pernah menghitung payback period untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung adalah sekitar 150 tahun.
“Itu artinya kurang lebih sekitar 150 tahun baru balik modal. Itulah yang dimaksud oleh Faisal Basri bahwa dampaknya bisa jatuh ke beberapa generasi ke depan,” papar Esther.
Deflasi ekonomi juga terus diingatkan oleh Faisal Basri. Ini menjadi sinyal akan terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan.
“Deflasi di Indonesia telah terjadi selama 4 bulan berturut-turut sejak Mei sampai Agustus. Pada Mei 2024 deflasi sekitar 0,03%, kemudian Juni 0,08%, Juli itu 0,18%, dan Agustus 0,03%. Hal ini pertanda kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja” terang Esther.
Esther mengungkapkan sinyal krisis ekonomi dari deflasi sebenarnya pernah terjadi di tahun 1999, tahun 2008-2020 dan sekarang di tahun 2024.
Tahun 1999 sebenarnya masih dalam recovery setelah krisis 1997. Deflasi juga terjadi di tahun 2008, kemudian 2020 pada Juli hingga September. Berikutnya deflasi 2024 telah mulai sejak Mei sampai Agustus 2024.
“Jika terjadi deflasi berbulan-bulan secara berurutan itu menandakan adanya krisis,” tegas Esther.
Sementara itu, Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro, Wijayanto mengingatkan bahwa dalam hitungan hari, kekuasaan Jokowi akan berakhir.
“Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan atau apa yang bisa kita torehkan untuk mengiringi berakhirnya satu rezim politik yang akan diganti dengan satu rezim baru,” ujar Wijayanto.
Ia menambahkan, “Di penghujung kekuasaan Jokowi yang kita saksikan bersama-sama adalah apa yang disebut sebagai fenomena Raja Jawa, tentang politik dinasti”.
Selama 10 tahun terakhir, ujar Wijayanto, dapat disaksikan secara jelas praktik politik dinasti yang terjadi karena melakukan pengingkaran terhadap konstitusi.
“Hal itu tidak berhenti terjadinya pengingkaran aturan main yang demokratis dengan upaya percobaan mengesahkan Kaesang sebagai calon gubernur melalui upaya-upaya pengingkaran aturan main demokratis. Tapi batal terjadi karena adanya serangan dari masyarakat sipil melalui aksi protes di mana-mana oleh mahasiswa dan masyarakat sipil” ungkapnya.
Kemudian, kata Wijayanto, terjadi pelemahan lawan politik dimana Golkar secara tiba-tiba melakukan peralihan kekuasaan yang dipimpin oleh seseorang yang sangat dekat dengan istana.
“Adanya operasi intelijen, adalah jawaban mengapa hal secepat itu bisa terjadi di partai Golkar,” tegasnya.
Aisyah Putri Budiarti atau Puput, Peneliti Politik BRIN masih ingat ketika ia menukil cuitan Faisal Basri mengenai kekuasaan dan perlu diseriusi.
“Kekuasaan itu seperti sakau, dan kedalamannya tidak memiliki dasar” kata Puput.
Sejak tahun 2016, Faisal Basri telah mengungkapkan bahwa orde baru ganti kulit semakin nyata. Regresi demokrasi dan banyak terminologi yang lain dipakai untuk menunjukkan penurunan demokrasi. Apalagi jika menggunakan penilaian versi freedom house, di mana kebebasan berbicara semakin terbatas
Oligarki telah semakin kuat, sementara masyarakat sipil dan check and balances semakin lemah. “Dimana check and balances hampir nggak berjalan jika semua parpol bergabung dengan koalisi pemerintah. Kemudian hanya sisa 1 partai (20%) yang sekarang pun sedang dalam komunikasi politik,” tutur Puput.
Faisal Basri sebagai tokoh yang paling kritis dari masyarakat sipil melihat banyak orang yang akhirnya terseret arus kekuasaan dan terikat dengan posisi-posisi komisaris.
“Saya sendiri sulit merawat konsistensi menyampaikan kritik yang dalam berbasis data. Menurut saya ini tugas kita yang sangat berat apalagi untuk situasi politik saat ini” terangnya.
Sehingga sangat dibutuhkan karakter masyarakat sipil yang tidak terseret godaan kekuasaan dan uang serta mencari jalan untuk tetap teguh bersuara.
“Sebab Faisal Basri diketahui berkali-kali ditawari posisi komisaris BUMN, sejak masa orde baru. Tapi beliau konsisten menolaknya dengan alasan ingin menjadi orang yang bebas dan bisa kritis hingga akhir hayat,” kata Puput.
Sementara itu, di mata Direktur Hukum, HAM dan gender LP3ES, Hadi Rahmat Purnama menilai Faisal Basri sebagai sosok yang memiliki legasi kuat di bidang hukum. Faisal Basri merupakan salah satu pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) dan ia sering berbicara mengenai pentingnya pemberantasan korupsi di Indonesia terutama pada sektor ekonomi dalam pemerintahan.
“Faisal Basri merupakan sosok yang independen dan tidak mudah dipengaruhi, komitmen beliau dalam pemberantasan korupsi, menekankan pentingnya penegakan hukum yang kuat dan transparan” tutur Hadi yang juga Dosen FH Universitas Indonesia.
Menurut Hadi, Faisal Basri memiliki peran penting dalam pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Faisal bahkan pernah ditunjuk oleh Mahfud Md (saat itu menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan) sebagai satgas TPPU.
Faisal Basri dan tim nya berhasil mengungkap beberapa kasus besar, termasuk kasus impor emas senilai Rp189 triliun. Hal yang dilakukannya merupakan kontribusi besar sekaligus menunjukkan komitmennya terhadap tranparansi dan akuntabilitas dalam sistem keuangan negara.
“Peran Faisal Basri mencerminkan dedikasinya terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegasnya.
Peneliti Senior LP3ES Malik Ruslan juga berpandangan serupa. Menurutnya, Faisal Basri memiliki keinginan menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam sebuah sistem pemerintahan, mirip dengan pemikiran Bung Hatta.
“Dalam konteks ini, Faisal Basri berusaha mewujudkan suatu bentuk demokrasi Indonesia yang harmonis, di mana kedua aspek tersebut saling melengkapi dan mendukung satu sama lain” ungkap Malik.
Faisal Basri berhasil menggabungkan isu demokrasi, ekonomi, antikorupsi dalam satu arena perjuangan, yang didalamnya tercakup pula isu perlindungan dan pemajuan HAM.
“Kritik tajam Faisal Basri terhadap berbagai persoalan yang mendera bangsa tidak hanya ditujukan pada sistem yang dinilainya menyimpang dari konstitusi, tetapi juga kepada penyelenggara negara,” tutur Malik.
Bahkan lebih jauh, terkait masalah ketidakadilan yang kerap dihalangi oleh korupsi, seorang Faisal Basri begitu fasih berbicara soal korupsi mulai dari wilayah hulu terkait moralitas penyelenggara negara, pendidikan yang kehilangan fungsi pembangunan karakter, hingga hilir yakni penegakan hukum dengan pendekatan teknokratis.