Qnews.co.id, JAKARTA – Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyesalkan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah mengesahkan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang (RUU) secara kilat dan tanpa adanya partisipasi publik.
Ketiga rancangan undang-undang tersebut, yakni RUU Kementerian Negara, RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan RUU Keimigrasian.
“Praktik pembentukan UU yang kilat, jelas sarat kepentingan politik sesaat, menihilkan kewajiban pelibatan partisipasi publik, yang jelas telah dilakukan oleh DPR dan Presiden berulang kali,” tulis LSJ dalam keterangan resmi, Minggu (22/9).
Hal itu memperlihatkan cara yang semakin ugal-ugalan, formal maupun material. Celakanya, menurut LSJ, pelemahan partisipasi publik dikonfirmasi Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi.
“Ia menyatakan, tak ada mekanisme yang dilanggar di dalam pembahasan peraturan perundang-undangan ini,” ungkap LSJ.
Adapun anggapan soal minimnya partisipasi publik, Baidowi mengklaim hal itu telah dilakukan oleh
setiap fraksi.
Uniknya, proses kilat pembentukan undang-undang ternyata dilakukan di masa transisi. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menyatakan pembentukan UU harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation).
“Tanpa partisipasi bermakna, maka pembentukan undang-undang dapat dikatakan melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty), dan jelas menegasikan prinsip Negara Hukum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945),” tulis LSJ.
Proses pembentukan hukum yang seperti itu, merupakan kejahatan legislasi yang bertentangan dengan hukum, dan kami menilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).
“Partisipasi publik, termasuk dalam proses pembentukan UU, pada prinsipnya merupakan hak dasar seluruh warga negara Indonesia sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945),” ujar LSJ.
Dengan demikian, pandangan yang menyebut partisipasi publik tidak signifikan sejatinya adalah keliru dan tak sesuai dengan semangat yang dibawa oleh UUD NRI Tahun 1945.
Secara khusus, berdasarkan Pasal 96 ayat (1) dan (6) UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lugas dinyatakan sebagai ‘hak’, baik memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Pengabaian pasal ini merupakan pelanggaran atas hak dasar warga negara yang diatur dalam sistem hukum Indonesia,” terang LSJ.
Partisipasi publik merupakan salah satu aspek yang diulas dalam asas keterbukaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘asas keterbukaan’ adalah bahwa dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
“Asas keterbukaan ini tidak hanya menjamin hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi, tetapi juga memperkuat legitimasi dan akuntabilitas pemerintah, sehingga mendorong terciptanya
sistem hukum yang lebih demokratis,” tulis LSJ.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembentukan UU yang dilakukan secara kilat dan ugal-ugalan, serta nir-partisipasi merupakan bukti nyata pelanggaran hak dasar warga negara atau hak konstitusional warga negara, yang dilakukan terang terangan oleh DPR dan Presiden.
Menurut LSJ, ini merupakan praktik abusive law making dan/atau dalam prakteknya merefleksikan kepentingan politik legislasi yang semata menopang kepentingan rezim kekuasaan, autocratic legalism.
“Jelas, tindakan yang secara nyata melanggar nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat
sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945,” ujarnya.
Pernyataan Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, merupakan bentuk normalisasi praktik abusive law making yang sarat kepentingan politik penguasa, melanggar hak-hak warga negara, dan sangat tidak bertanggung jawab.
“Pernyataan itu mengonfirmasi DPR dan Presiden yang telah menunjukkan praktek memalukan dan mengkhianati hak hak warga negara. Pernyataan tersebut merusak sistem hukum ketatanegaraan,” katanya.
Partisipasi publik merupakan kepentingan politik pembentuk hukum. Hanya dengan melakukan pembentukan secara terbuka dan pemenuhan partisipasi publik saja lah, maka legitimasi didapatkan oleh pembentuk regulasi .
“Jika pemerintah abai terhadap suara rakyat, maka pemerintah sedang mengajarkan rakyat untuk tidak percaya dengan institusi negara, baik pemerintah maupun parlemen, sehingga akan mendorong rakyat abai terhadap perintah, anjuran, dan larangannya,” tulis LSJ.
Nihilnya partisipasi publik mengindikasikan ketiga RUU tersebut sarat kepentingan politik transaksional. Terlebih dalam konteks kartelisasi politik, tak terkecuali dalam sistem kepartaian. Pengesahaan tiga RUU tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa kepentingan publik diingkari dan sama sekali tidak diprioritaskan.
“Sebaliknya, pengesahan tersebut lebih merefleksikan kepentingan segelintir pihak dalam kekuasaan yang mengendalikan proses legislasi,” ujarnya.
Pengesahan ketiga RUU secara kilat dan tanpa melibatkan partisipasi publik, juga bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sesuai dengan Pasal 3 huruf a, undang-undang tersebut bertujuan untuk menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
“Ketiadaan partisipasi publik merupakan keinginan untuk menutupi kepentingan kekuasaan, dan semakin melemahkan demokrasi karena tidak sedang mencerminkan kehendak rakyat,” ungkap LSJ.
Pengesahan ketiga RUU tersebut juga bentuk refleksi tidak adanya kekuatan oposisi, tidak menguatnya daya kritis parlemen, serta melumpuhkan gagasan keseimbangan kekuasaan yang sangat diperlukan dalam Negara Hukum Indonesia yang demokratis.
Karena itu, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menuntut pembatalan pengesahan ketiga RUU tersebut karena cacat yuridis, formil maupun
materiil, bahkan mengingkari prinsip Negara Hukum dan UUD NRI Tahun 1945.