Alvin Lim: Ike Farida Harusnya Menang Tapi Dalam Hukum Ada Teori dan Kenyataan

Qnews.co.id – Advokat sekaligus doktor hukum ketenagakerjaan Ike Farida harus lapang dada setelah mendekam di dalam penjara. Ia divonis 5 bulan kurungan karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana sumpah palsu sesuai Pasal 242 Ayat 1 KUHP.

“Memutuskan, menyatakan terdakwa Ike Farida bersalah melakukan tindak pidana sumpah palsu, menjatuhi vonis kepada terdakwa dengan pidana penjara selama lima bulan,” kata Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat membacakan putusan, Selasa (3/12) lalu.

Bacaan Lainnya

Menanggapi hal tersebut, pendiri LQ Indonesia Law Firm, Alvin Lim mengatakan, kalau dirinya sempat menjadi kuasa hukum dari Ike Farida, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mundur lantaran tak sejalan dengan sang kliennya.

“Waktu dia jadi tersangka dia sempat memberikan kuasa ke saya, saat itu saya coba damaikan ya dengan Pakuwon. Singkat cerita mereka bersedia untuk mengganti lebih dari 3 M karena 3 M itu adalah harga ketika Ike Farida beli waktu itu dan untuk harga saat ini sudah naik sekitar 5 M sekian,” ungkap Alvin Lim dalam podcastnya di akun YouTube Quotient TV.

“Saya hubungi ibu Ike Farida ya tapi dia tidak mau dan minta ganti ruginya 10 kali lipat karena sudah 10 tahun banyak kerugian-kerugian yang beliau hadapi seperti contoh kerugian waktu, kerugian biaya gugatan dan sebagainya. Menurut saya kalau meminta ganti rugi kepada Pakuwon 10 kali lipat tidak pada tempatnya ya, jadi alhasil saat itu saya tidak melanjutkan kuasa kepada ibu Ike Farida dan dia mendapatkan lawyer lain yaitu bapak Kamarudin,” sambungnya.

Menurut Alvin Lim dalam hukum ada teori dan kenyataan. Teorinya penegak hukum harusnya menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi kenyataannya banyak oknum yang bermain.

Karena itu, jika melihat dari kaca mata teori hukum, Alvin Lim setuju dengan Kamarudin bahwa hukum tetap harus jadi yang tertinggi dan seharusnya Ike Farida menang dalam putusan perdata dan pidana.

“Alvin Lim ini bukan cuma asal ngomong dan ngebacot. Hukum ini ada teorinya dan ada kenyataannya, teorinya hukum itu adalah panglima, kenyataannya uang adalah panglima. Teorinya penegak hukum harusnya menegakkan kebenaran, tapi kenyataannya banyak oknum yang bermain,” jelas Alvin Lim.

“Jadi sebenarnya dalam teori hukum saya setuju dengan rekan saya pak Kamarudin, bahwa hukum itu harusnya tertinggi, dan harusnya Ike Farida itu menang sebagaimana pada putusan perdata dan seharusnya dalam putusan pidana Ike Farida tidak di hukum tapi itu lah yang saya bilang karena adanya oknum mafia hukum, oknum-oknum itulah yang bermain orang yang benar bisa jadi salah, orang yang salah bisa jadi benar,” lanjutnya.

Advokat yang terkenal vokal dan berani itu juga mengungkapkan bahwa dirinya sudah pernah memberikan peringatan dan mengingatkan Ike Farida untuk tidak melawan 9 naga dalam urusan hukum.

“Saya sudah memberikan peringatan dan sudah mengingatkan. Bukan saya takut sama 9 naga ya tapi jika mereka sudah main duit sehebat apapun ilmu hukum kita kadang sulit untuk menang,” ujar Alvin Lim.

“Saat itu ibu Ike Farida statusnya sudah tersangka dan saya juga sudah bilang kalau kasus ini lanjut ibu bisa di tahan dan akhirnya hal terburuk terjadi seperti sekarang, ibu Ike Farida di tahan di penjara dan apartemennya juga dia tidak dapat jadi sangat sulit, dan saya disini tidak menjelek-jelekkan penegak hukum ya tapi ini fakta adanya mafia hukum di negara ini,” tegasnya.

Sebagai informasi, perkara ini telah berlangsung selama 12 tahun. Dimulai pada 26 Mei 2012, di mana Ike Farida membeli satu unit apartemen Casa Grande Residence dengan surat pesanan dan membayar Rp 10 juta. Kemudian, 30 Mei 2021 Ike Farida membayar lunas Rp 3,04 milyar.

Ketika akan dibuat PPJB dan AJB ditolak oleh pengembang karena Ike bersuamikan WNA asal Jepang dan tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta.

Sesuai ketentuan hukum berlaku saat itu bahwa WNI yang kawin campur dengan WNA jika ingin membeli aset di Indonesia harus memiliki perjanjian perkawinan pisah harta. Dasar hukumnya yaitu Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2015 tentang Pemilikan tanah tempat tinggal atau hunian orang asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Pasal 70 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak Atas tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Pengembang telah menawarkan pengembalian uang secara utuh, namun ditolak oleh Ike Farida. Bahkan pada tahun 2014, pengembang sudah menitipkan uang tersebut melalui konsinyasi di PN Jaktim, namun tetap ditolak.

Hal ini membuktikan bahwa pengembang sudah beritikad baik untuk menyelesaikan perkara ini.

Pada 2015 Ike Farida menggugat Pengembang ke PN Jaksel, namun kalah/ditolak. Ike banding tahun 2018 dan kembali ditolak. Lalu, Ike mengajukan kasasi di tahun yang sama, kembali kalah. Pun, Ike mengajukan Peninjauan Kembali (PK) – 2021 dan dikabulkan.

Baru pada 2017 Ike Farida dan suaminya (WNA asal Jepang) membuat perjanjian perkawinan pisah harta yang diaktakan oleh Notaris Cahriani, SH., M.Kn., yang kemudian digunakan sebagai bukti di tingkat banding. Namun banding Ike Farida tidak dikabulkan, begitu pula pada tingkat kasasi.

Tidak puas, Ike Farida lalu mengajukan PK. Dalam Persidangan PK, 4 Mei 2020 dilaksanakan Pengambilan Sumpah Penemuan Bukti Baru atau novum yang dilakukan Kuasa Hukum Ike Farida berdasarkan surat kuasa khusus dari Ike Farida tertanggal 22 Februari 2020.

Advokat/pengacara dilindungi UU Advokat untuk bertindak atas nama pemberi kuasa, oleh karena itu pertanggungjawaban hukum atas sumpah penemu bukti baru atau novum tersebut terletak pada pemberi kuasa yaitu, Ike Farida.

Setelah putusan novum yang diajukan dalam PK tersebut ternyata adalah berupa: (1) pencatatan pelaporan akta perjanjian perkawinan No. 5 tanggal 25 April 2017 yang telah dicatatkan pada halaman belakang buku nikah yang sudah sudah pernah digunakan dalam sidang banding tahun 2017; (2) Surat Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta No.107/-1.785.51, tertanggal 11 Februari 2020; dan (3) Surat Badan Pertanahan Nasional DK Jakarta No. 3212/7.31.200/XI/2015, tertanggal 27 November 2015.

Dalam sumpah di muka sidang yang dilakukan oleh Ike Farida melalui kuasanya dinyatakan bahwa novum tersebut belum pernah digunakan pada perkara sebelumnya. Namun kenyataannya ketiga bukti tersebut sudah pernah digunakan.

Berdasarkan fakta tersebut, maka patut diduga Ike Farida telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 242 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP tentang dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan/atau pemalsuan dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, dengan Andaman hukuman hingga 7 tahun penjara.

Atas dasar ini pada 24 September 2024 pengembang melaporkan Ike Farida ke Polda Metro Jaya (LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan