Ekspor Pasir Laut, CELIOS: Indonesia Berpotensi Dirugikan

Ilustrasi - Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial yang cenderung merugikan rakyat. Kebijakan tersebut terkait izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Foto: ugm.ac.id

Qnews.co.id, JAKARTA – Studi terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bertajuk Dampak Ekonomi dan Lingkungan Regulasi Pasir Laut membuktikan bahwa secara historis, ekspor pasir laut global mengalami fluktuasi.

CELIOS merujuk data International Trade Center untuk menelisik ekspor pasir laut antara tahun 2001 hingga 2022. Hasilnya cukup signifikan, dimana pada awal periode 2001, ekspor pasir laut global bernilai sekitar USD309 juta.

Bacaan Lainnya

“Angka itu mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan nilai USD694 juta,” tulis CELIOS dalam laporan Siapa Untung dari Ekspor Pasir Laut?, Kamis (3/10).

Setelah itu, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada tahun tahun berikutnya. Namun nilainya tetap berada pada level yang relatif tinggi.

Pada tahun 2022, nilai ekspor pasir laut global tercatat mencapai US$576 juta. Angka itu menunjukkan adanya permintaan global terhadap komoditas ini masih cukup kuat.

“Meskipun ada beberapa variasi dari tahun ke tahun,” ungkap CELIOS.

Selain itu, CELIOS juga menampilkan negara-negara yang menjadi eksportir pasir laut terbesar pada tahun 2022. Belanda ternyata memimpin dengan pangsa ekspor terbesar, mencapai sekitar 31,7 persen dari total ekspor global. Diikuti Jerman dengan 11,89 persen, dan Mozambik sebesar 10,83 persen.

Negara-negara seperti Kamboja, Malaysia, Prancis, dan Belgia juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam pasar ekspor pasir laut global, meskipun dengan porsi yang lebih kecil.

“Data ini menunjukkan bahwa perdagangan pasir laut didominasi oleh beberapa negara, dengan Belanda sebagai pemain utama di pasar global,” tulis CELIOS

Saat ini, permintaan pasir laut global sangat dipengaruhi oleh permintaan dari Singapura. Data menunjukkan, negeri singa itu merupakan salah satu importir terbesar.

Impor pasir laut global antara tahun 2001 hingga 2022 menunjukkan Singapura secara konsisten mendominasi pasar impor pasir laut. Puncaknya pada tahun 2008 ketika mengimpor pasir laut senilai USD1,4 miliar atau setara 42 juta ton m kubik.

Ketergantungan Singapura pada impor pasir laut, ungkap CELIOS, dipengaruhi oleh proyek reklamasi yang mereka lakukan untuk memperluas wilayah daratan.

Pada tahun 1976, luas wilayah Singapura hanya 527 km², tetapi pada 2020-an telah meningkat menjadi 728,6 km². Ini menunjukkan pentingnya pasir laut dalam upaya peningkatan wilayah negara tersebut.

Dari perspektif global, Singapura tidak hanya menjadi pemain utama dalam impor pasir laut, namun secara signifikan turut mempengaruhi tren keseluruhan pasar impor pasir laut dunia.

Pada tahun 2022, impor global mencapai USD820 juta, dengan Singapura mengambil bagian sebesar USD265 juta, yang masih lebih besar dibandingkan importir lainnya.

“Hal itu menunjukkan betapa besarnya peran Singapura dalam menggerakkan permintaan global akan komoditas ini, terutama dalam konteks reklamasi daratan yang mereka lakukan,” ujar CELIOS dalam laporannya.

Ketergantungan Singapura pada impor pasir laut membawa dampak yang luas, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.

Di satu sisi, hal itu membuka peluang ekonomi bagi negara-negara eksportir seperti Indonesia, namun di sisi lain, permintaan yang besar dari Singapura akan mempercepat eksploitasi sumber daya alam yang akan berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama di negara-negara pemasok.

Kerusakan ekosistem laut akibat penambangan pasir untuk memenuhi permintaan Singapura, menurut CELIOS, menjadi isu yang perlu diperhatikan. Pasalnya, ada konsekuensi jangka panjang yang ditimbulkan, seperti erosi pantai dan kerusakan habitat laut.

“Dalam posisi timpang ini, Indonesia sebenarnya lebih banyak dirugikan,” tutup CELIOS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan