Era Prabowo-Gibran, JPPI: 5 Tantangan Pendidikan yang Harus Diselesaikan

Seorang guru SDN Lawinu Tanarara, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur Siti Saudah sedang mengajar di ruang kelas. Foto: Humas Kemendikbudristek.

Qnews.co.id, JAKARTA –  Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji membeberkan sedikitnya ada 5 tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran di sektor pendidikan.

Pertama, biaya pendidikan yang sangat mahal dan tidak terjangkau masyarakat. Kata Ubaid, ini dirasakan oleh masyarakat, baik di jenjang sekolah dasar dan menengah, hingga perguruan tinggi.

Bacaan Lainnya

Dalam 5 tahun terakhir, protes dan pro-kontra akibat gagal mengikuti PPDB (yang mengakibatkan sekolah di swasta yang berbayar mahal) dan biaya UKT selalu mewarnai sektor pendidikan setiap tahunnya.

“Meski dalam peraturan perundangan-undangan sekolah dinyatakan tanpa dipungut biaya, nyatanya hingga Oktober 2024, terdapat 4,2 juta anak Indonesia yang tidak bersekolah,” kata Ubaid dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (22/10).

Mayoritas masyarakat terhambat karena faktor ekonomi. Berdasarkan catatan dan pelaporan yang masuk ke JPPI selama 2014-2024, ada banyak alasan anak mengapa anak tidak/putus sekolah.

Kedua, mutu sekolah yang masih sangat memperihatinkan. Jika berkaca pada data Pisa sejak 2015-2022, skor Indonesia bukan mengalami kenaikan, namun konsisten mengalami penurunan (OECD, 2015-2022).

Penurunan skor ini terjadi di semua bidang: membaca, matematika, dan sains. “Bisa kita bandingkan kondisi pada tahun 2015 dengan situasi di tahun 2022. Di tahun 2015, skor mencapai 397, lalu merosot menjadi 359 di tahun 2022,” terang Ubaid.

Secara khusus di bidang matematika, dari angka 386 melorot menjadi 366. Sedangkan di bidang sains, dari yang awalnya 403 berubah menjadi 383.

“Jangankan bersaing di dunia, di level ASEAN saja, Indonesia termasuk 3 negara dengan skor terburuk (bersama Filipina dan Kamboja). Adapun Singapura menduduki skor tertinggi di dunia,” jelasnya.

Ketiga, darurat kekerasan di sekolah yang terkesan dibiarkan. Meski peraturan pencegahan kekerasan dan satgas telah dibentuk di berbagai daerah hingga di sekolah, ternyata hal itu belum mampu menghalau laju tren kekerasan di sekolah.

Berdasarkan pemantauan JPPI dalam 5 tahun terakhir (2020-2024), tren kekerasan di sekolah justru mengalami kenaikan.

“Bahkan, setiap hari selalu ada laporan kasus kekerasan. Bisa terjadi di sekolah, madrasah, pesantren, atau perguruan tinggi,” paparnya.

Sementara data yang dihimpun JPPI, per September 2024, menunjukkan terjadi 293 kasus kekerasan di sekolah. Jika dilihat dari jumlahnya, terjadi kenaikan tren di tiap tahun.

“Bahkan, jumlah saat ini (data Sept 2024) sudah melebihi jumlah kasus di tahun 2023, yakni sebanyak 285 kasus,” jelasnya.

Jenis kekerasan secara umum didominasi oleh kekerasan seksual, jumlahnya mencapai 42%. Disusul kasus perundungan (31%), kekerasan fisik (10%), kekerasan psikis (11%), dan kebijakan yang mengandung kekerasan (6%).

Dalam kasus kekerasan seksual, korban terbanyak masih perempuan, sebesar 78%. Sementara korban laki-laki hanya 22%.

“Namun, jika dilihat dari sudut pandang pelaku, laki-laki begitu mendominasi sebanyak 89%, sedangkan perempuan 11%,” katanya.

Keempat, pendidikan karakter di sekolah terkesan jalan di tempat. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, belum ada data yang memperlihatkan terjadinya peningkatan level dalam pendidikan karakter di sekolah.

“Yang terjadi justru ada kecenderungan pola yang sangat buruk yang seharusnya menjadi perhatian khusus,” kata Ubaid.

Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 menunjukkan indeks integritas pendidikan nasional masih berada di level rendah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, ternyata integritas yang tecermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan telah menunjukkan sebaliknya, yakni semakin rendah.

“Skor indeks integritas pendidikan mencapai 73,70. Nilai ini menunjukkan indeks integritas pendidikan masih berada di level 2 dari skala tertinggi level 5,” jelasnya.

Kelima, maraknya pungli dan korupsi di sekolah. Institusi pendidikan seharusnya bersih dari praktik korupsi. Ironisnya, pengelolaan pendidikan di Indonesia berubah menjadi lahan basah tindak pidana korupsi.

“Bahkan pungli tak jarang dilakukan secara berjamaah alias melalui persekongkolan,” katanya.

Data ICW menunjukkan, terjadi 424 kasus korupsi sejak tahun 2015 s/d 2023 dengan potensi kerugian negara sebesar 916,67 miliar rupiah. Hal itu terkait dengan kasus pengadaan barang dan jasa di sekolah.

Selain itu, data SPI Pendidikan 2023 juga memperlihatkan, sebesar 25% persen warga sekolah menyatakan tahu calon peserta didik diterima karena memberi imbalan kepada pihak sekolah.

“Selama PPDB berlangsung, ditemukan praktik pungutan liar (pungli) terjadi di 44,86 persen sekolah dan lebih dari 57,14 persen perguruan tinggi di Indonesia,” paparnya.

Dari fakta dan data tersebut di atas, JPPI mengusulkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Pertama, setop privatisasi dan komersialisasi pendidikan.

“Caranya, jenjang pendidikan yang masuk program wajib belajar, haruslah dibiayai oleh pemerintah. Artinya bebas biaya, baik di negeri maupun di swasta,” terang Ubaid.

Kedua, fokus pada akses dan mutu pendidikan dasar. Jenjang sekolah dasar haruslah tuntas dan berkualitas, karena disini adalah kunci keberhasilan.

“Jangan seperti sekarang, kita tidak fokus pada sekolah dasar, akibatnya banyak ditemukan anak SMP tidak bisa baca, bahkan yang bisa baca pun mereka tidak memahami maknanya,” ujar Ubaid.

Berikutnya, prioritaskan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru. Jika masalah guru tak kunjung diselesaikan, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia hanya menjadi mimpi di siang bolong.

“Gonta-ganti kurikulum ternyata belum memberikan dampak peningkatan kualitas signifikan. Jelas ini karena tidak didukung oleh guru yang kompeten dan berkualitas,” katanya.

Keempat, perkuat LPTK dan perketat mahasiswa Fakultas Keguruan/Tarbiyah. Ini menjadi problem hulu yang perlu dibenahi dengan cara memilih dan melakukan seleksi secara ketat.

“Jangan seperti sekarang. Semua bisa masuk Fakultas Keguruan, akibatnya lulusannya pun kualitasnya buruk,” papar Ubaid.

Terakhir, perkuat sistem pencegahan kekerasan dan ekosistem sekolah yang lebih terbuka dan akuntabel. Tugas utama Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan Tim Pencegahan Kekerasan adalah membuat sistem perlindungan anak hingga di level sekolah.

“Mulai dari sistem deteksi dini, sistem pelaporan, hingga perlindungan saksi dan korban,” katanya.

Karena itu, urusan pendidikan, tidak bisa diselesaikan oleh pihak sekolah dan pemerintah semata, namun perlu pelibatan aktor yang lebih luas.

“Karena itu, perbaikan ekosistem sekolah harus terus dilakukan dengan memperkuat civic space dan menjadikan sekolah sebagai institusi yang terbuka dan inklusif bagi semua,” tandasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan