Qnews.co.id, JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Serikat Petani Pasundan (SPP) dengan 500 massa mewakili 80 organisasi petani di berbagai daerah mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi RI pada Senin (23/9). Mereka hadir untuk menyampaikan aspirasi terkait urgensi pembongkaran dan pemberantasan korupsi di sektor agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan praktik korupsi di sektor agraria kini berkembang semakin buruk, baik dari segi modus dan penyiasatan hukum agraria.
KPA mencatat beberapa contoh, diantaranya saat menteri dan jajaran birokrat di KLHK menetapkan kawasan hutan tanpa memperoleh persetujuan masyarakat di sekitarnya, agar bisa cepat diterbitkannya izin usaha kehutanan bagi pengusaha.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan hal itu sebagai bentuk korupsi dan kejahatan agraria karena dengan ditunjuk sepihak sebagai izin perusahaan.
“Menteri LHK bisa menagih pajak dan pemasukan lain tanpa perlu mengganti tanah-tanah petani tersebut. Belum lagi Menteri LHK tidak menghitung berapa besar kerugian negara yang muncul akibat dampak sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat,” ujar Dewi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/9).
Contoh korupsi agraria yang dilakukan Menteri LHK di lapangan adalah penunjukan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) di Pulau Jawa. Pada tahun 2022, Menteri LHK membagi 3,4 juta hektar tanah rakyat menjadi dua bagian, 1,1 juta hektar tanah dikuasai kementerian LHK sisanya 1,3 penguasaan diberikan kepada Perum Perhutani.
“Seluruh penunjukan hingga pengukuhan hutan tersebut dilakukan sepihak tanpa memeriksa kondisi tanah di lapangan,” katanya. Akhirnya tanah pertanian, kampung dan desa diklaim sebagai kawasan hutan.
Korupsi agraria yang dilakukan Menteri LHK tentu dapat dihitung dampak ekonominya. Jika satu hektar tanah petani senilai dengan Rp100 juta saja, artinya Rp340 triliun uang rakyat hilang begitu saja, karena ditetapkan sebagai hutan.
“Lantas bagaimana dengan tanah rakyat di berbagai daerah yang mengalami hal serupa dengan petani di Jawa? Berapa banyak kerugian rakyat dan negara akibat tindakan penyalahgunaan kekuasaan Menteri LHK selama ini,” ujar Dewi.
Berikutnya, korupsi agraria oleh Menteri dan jajaran Kementerian ATR/BPN yang membiarkan bisnis sawit ilegal tetap beroperasi. Meskipun pemerintah mewajibkan setiap perusahaan sawit mengantongi hak guna usaha (HGU), faktanya dari 25 juta hektar sawit yang dikuasai pengusaha (Sawit Watch, 2024), hanya 10,13 juta hektar sawit yang ber-HGU.
Anehnya berdasarkan daftar resmi HGU yang dimiliki ATR/BPN, luas seluruh HGU hanyalah 10,13 juta hektar.
“Artinya ada 15 juta hektar sawit tanpa HGU (ilegal) yang dibiarkan tetap beroperasi oleh Kementerian ATR/BPN dari masa ke masa,” kata Dewi.
Di banyak kasus para pengusaha sawit setelah merampas tanah rakyat, tidak membayar ganti rugi tanah rakyat, tidak membayar pajak dan pemasukan negara lainnya. Kerugian rakyat dan negara terlampau besar ketimbang jumlah devisa dari sawit selama ini.
Contoh berikutnya adalah membiarkan pengusaha tetap mengklaim menguasai tanah 7,24 juta hektar meski masa berlakunya HGU sudah habis atau pun statusnya tanah terlantar.
“Jika taat pada UUPA dan aturan pertanahan lainnya, pengusaha wajib menyerahkan tanahnya ketika HGU sudah habis masa berlakunya atau tidak diproduktifkan alias diterlantarkan,” jelas Dewi.
Tanah-tanah tersebut seharusnya diredistribusikan sebagai obyek Reforma Agraria kepada petani dan buruh tani di sekitarnya, atau bagian dari pemulihan hak masyarakat adat.
Dari 7,24 juta hektar tanah bekas HGU yang masih dikuasai pengusaha, kata Dewi, negara merugi lebih dari Rp. 26 triliun (asumsi kehilangan pemasukan dari PPH dan PPN). Belum lagi kerugian yang diderita petani akibat tanahnya dirampas ketika Menteri ATR/BPN memperbarui eks HGU/HGB di atas tanah petani.
“Bekas-bekas HGU ini bahkan kini dapat diberikan secara manipulatif dan kolutif kepada Bank Tanah oleh Menteri ATR/BPN, sebelum diberikan kembali kepada pengusaha,” paparnya.
Selanjutnya, korupsi agraria dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Selama dua periode rezim Joko Widodo, catatan KPA per Juli 2024 menunjukkan PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria seluas 571 ribu hektar.
Korupsi agraria yang dilakukan Panitia Pengadaan Tanah, Pemerintah Daerah, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN dan Pengadilan adalah dengan memanipulasi data tentang kondisi tanah, penambahan luas tanah, penambahan jumlah penerima ganti rugi dan pengurangan uang ganti rugi.
Kasus yang KPA temui misalnya di PSN Bandara Kertajati, panitia pengadaan tanah memotong paksa uang ganti rugi sebesar 50% tanpa sepengetahuan petani. Jika modus semacam ini dilakukan di 500 ribu hektar PSN, dengan rata-rata satu hektar diganti rugi Rp200 juta.
“Artinya Negara mengalami kerugian sebesar Rp100 triliun akibat korupsi dan pemotongan uang ganti rugi saja,” jelas Dewi.
Contoh korupsi agraria yang dilakukan pengusaha dan pemerintah adalah penentuan proyek bisnis pengusaha sebagai PSN. Misalnya demi meningkatkan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN) Presiden Joko Widodo mengundang Agung Sedayu Group, Salim Group, Sinarmas, Barito Pacific, Astra Group, dll, membangun pusat-pusat perhotelan hotel, kawasan bisnis dan perbelanjaan di IKN.
“Kabarnya, sebagai politik balas jasanya, Pemerintah melalui Menko Perekonomian menetapkan PIK 2 sebagai PSN – sebuah proyek kelas premium yang sempat lama mangkrak,” ujar Dewi.
Hal ini tentu menguntungkan Agung Sedayu Group karena PIK2 seluas 2.650 hektar, dapat menikmati berbagai insentif keuangan, percepatan pengadaan tanahnya, dukungan regulasi sebab sudah berstatus PSN.
Selanjutnya, korupsi agraria oleh Kementerian ESDM dan Investasi melalui pengampunan bisnis ilegal tambang, sawit dan kayu di kawasan hutan.
Temuan KPA menunjukkan pemerintah telah mengampuni bisnis ilegal di kawasan hutan seluas 8,81 juta hektar, berdasarkan berbagai keputusan Menteri Investasi, ESDM dan LHK.
Perhitungan sederhana kerugian negara akibat kehilangan PNBP penggunaan hutan saja mencapai Rp35,3 triliun (asusmsi tarif PNBP sebesar Rp4 juta rupiah/hektar).
Hal ini belum terhitung kerugian lingkungan akibat operasi bisnis ilegal selama puluhan tahun oleh mafia tambang, sawit dan kayu.
“Padahal menurut UUPA seharusnya tanah-tanah tersebut harus ditetapkan sebagai objek reforma agraria sesuai Pasal 17 UUPA,” katanya.
Korupsi di sektor agraria memiliki berbagai modus operandi. Modus itu melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi.
Dari banyak contoh korupsi agraria yang gagal ditangani KPK menunjukan bahwa sistem penanganan korupsi di Indonesia masih primitif, sama sekali tidak berkembang sejak dibentuk tahun 2002 silam.
“KPK luput melihat jaringan antara pelaku bisnis (koruptor) dan pejabat pemerintah yang bertindak untuk saling menguntungkan,” kata Dewi.
Proses ini sering disebut sebagai state capture, di mana pengambil kebijakan dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau korporasi untuk memuluskan jalan dalam monopoli tanah dan sumber agraria lainnya.
Korupsi yang berani ditangani hanya sekitar suap, gratifikasi dan over pricing proyek-proyek kementerian, tanpa bisa menjerat mafia dan koruptor yang lebih tinggi.
Kolaborasi itu menciptakan korupsi struktural yang merugikan masyarakat, terutama petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan perempuan dalam jangka panjang,” papar Dewi
Dari segudang masalah tersebut, KPA menuntut KPK segera mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang yang menghasilkan perilaku kejahatan dan korupsi agraria oleh pemerintah, pengusaha dan mafia tanah, yang telah merugikan negara bahkan merampas kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat.