Hilirisasi Mineral Berujung Kerugian dan Kriminalisasi Warga di Morowali

Tanggal 20 Juli 2024, warga Desa Ambunu Kec Bungku Barat yang tergabung dalam Forum Ambunu Bersatu (Forbes) kembali melakukan aksi blokade di 7 titik lokasi dalam Kawasan Industri Huabao Industrial Park (IHIP). Foto: Walhi

Qnews.co.id, JAKARTA – Kawasan industri nikel PT Huabao Industrial Park (PT IHIP) di Kecamatan Bungku Barat Kab Morowali memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Praktik hilirisasi khususnya nikel menciptakan penurunan kualitas kesehatan warga, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas ekosistem laut, hingga penurunan ekonomi warga.

“Apalagi operasi industri ini didukung dengan infrastruktur yang masih menggunakan PLTU captive,” tulis Koalisi Anti SLAPP dalam keterangannya, Kamis (31/10).

Bacaan Lainnya

Selain konflik agraria, kerusakan lingkungan juga mewarnai pembangunan kawasan industri nikel tersebut. Seringkali warga terlibat konflik dengan perusahaan akibat tanahnya dirampas paksa dengan berbagai macam modus.

Konflik memuncak pada tahun 2022 hingga 2024 ketika lahan masyarakat seluas 14 Ha yang berisi sawit di Desa Ambunu, digusur pada malam hari tanpa sepengetahuan pemiliknya. Serta jalan desa, akses utama masyarakat ke kebun kini digunakan untuk jalan holing perusahaan.

Meningkatnya perlawanan masyarakat dalam mempertahankan haknya, membuat perusahaan melakukan upaya pembungkaman dengan sejumlah cara. Mulai dari kriminalisasi hingga gugatan hukum kepada orang – orang yang dinilai sebagai pelopor dalam perlawanan tersebut.

Tanggal 20 Juni 2024 lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024 terkait blokade jalan di Desa Topogaro.

“Pemanggilan didasarkan pada Undang – Undang Nomor 3 tahun 2020 Pasal 162 tentang Pertambangan dan Minerba,” kata koalisi.

Tanggal 10 Oktober 2024, lima orang warga Desa Ambunu Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms dan Rifiana Ms juga mendapat surat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah. Mereka dimintai keterangan berdasarkan laporan No B/989/X2024/Diretkrimsus tanggal 4 oktober 2024.

“Warga dijerat tindakan pidana dengan alasan terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh PT BTIIG berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2004 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2,” tulis koalisi.

Surat pemanggilan terkait aksi blokade jalan yang dilakukan masyarakat pada rentetan waktu 11 – 23 Juni 2024, di Desa Topogaro dan Desa Ambunu. Padahal blokade yang dilakukan sebagai bentuk protes terhadap PT BTIIG yang mengeklaim sepihak jalan desa yang sehari hari yang digunakan warga.

Klaim itu baru diketahui masyarakat lewat video pernyataan Legal Eskternal PT IHIP bernama Riski yang beredar di medsos. Ia menyampaikan jalan desa yang sekarang digunakan menjadi jalan holing merupakan milik sah PT BTIIG, bersarkan MoU tukar guling asset dengan Bupati Morowali yang  ditanda-tangani pada 11 Maret 2024.

Padahal Jalan desa yang terhubung dari Topogaro ke Dusun Folili ke Dusun Sigendo dan Ambunu jauh sebelumnya, sudah digunakan warga saat masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju ke gua Vavompogaro (situs budaya) bersejarah bagi masyarakat sekitar.

Upaya pembungkaman masyarakat terus dilakukan oleh PT BTIIG. Lima warga Desa Topogaro yang sebelumnya dipanggil polisi, kembali digugat perdata dengan tuntutan Rp14 miliar atas kerugian penutupan jalan selama tiga hari dan pencemaran nama baik perusahaan.

Masyarakat Desa Topogaro dan Ambunu menuntut pemerintah dan perusahaan agar membatalkan MoU tersebut yang dinilai sepihak. Mereka juga mendesak agar mengembalikan fungsi jalan desa serta PT BTIIG memperlihatkan MoU yang disepakati pada tanggal 11 maret 2024.

“Sampai saat ini MoU tersebut tidak pernah di perlihatkan oleh pihak perusahaan,” tulis koalisi.

Kawasan Industri Huabao Industrial Park merupakan kawasan industri yang dikendalikan penuh oleh PT Zhensi Holding Grup dengan wajah Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) dimana komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%.

“Dengan nilai investasi sebesar Rp14 triliun, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, merupakan bahan baku penting untuk stainless steel serta baterai energi baru kelas atas,” beber koalisi.

Luas kawasan PT IHIP sebesar 20.000 Ha di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu dan Wosu dengan metode pembagunan dua tahap. Tahap satu yang sedang berjalan di Desa Tondo, Topogaro dan Ambunu.

Pembagunan kawasan itu sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama  internasional berkualitas tinggi di bawah One Belt, One Road Inisiative.

Berdasarkan MoU tanggal 11 Maret 2024 pada point (b), ternyata jalan desa di Desa Wosu, Umpanga, dan Larebonu telah menjadi milik PT Huabao Industrial Park yang diuraikan dalam 10 pasal perjanjian. Kesepakan itu telah meningkatkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

“Sebab MoU tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat sama sekali. Pembungkaman warga tentu akan terus dilakukan oleh perusahaan dengan berbagai cara,” kata koalisi.

Praktik perampasan lahan yang dilakukan perusahaan, tidak ubahnya seperti zaman penjajahan. Masyarakat dibuat tidak ada pilihan lain, sementara pemerintah turut serta melindungi kepentingan perusahaan dan mengabaikan hak-hak masyarakat.

Atas situasi tersebut, Koalisi Anti SLAPP terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil (WALHI Nasional, Green Peace, WALHI Sulteng, Perkumpulan AEER, Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Pengacara Hijau Sulawesi Tengah) menuntut perlindungan hak warga dan keamanan masyarakat serta kebebasan warga untuk menyampaikan pendapat tanpa takut akan intimidasi atau ancaman hukum.

Selain itu, pinta koalisi, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan hilirisasi mineral, khususnya terkait peningkatan produksi nikel, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan warga.

“Pembatasan produksi perlu dilakukan untuk mencegah degradasi lingkungan yang semakin parah,” tandas koalisi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan