Qnews.co.id, JAKARTA – Analis Quotient Fund Indonesia Devin Emilian mengungkapkan harga minyak mentah mengalami tekanan selama seminggu terakhir dan hampir dipastikan akan mencatatkan kerugian mingguan lainnya.
Minyak jenis Brent tercatat diperdagangkan pada harga USD71.63 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) berada di USD67.82 per barel.
“Penurunan terutama disebabkan oleh melemahnya permintaan di sektor pengolahan minyak di China, yang mencatat penurunan pemrosesan sebesar 4,6%,” kata Devin kepada Qnews.co.id di Jakarta, Jumat (15/11).
Beberapa kilang di China telah menghentikan sementara operasinya atau mengurangi produksinya, yang turut memperlemah harga minyak.
Selain itu, data Administrasi Informasi Energi AS menunjukkan penurunan besar dalam stok bensin dan distilat di AS. Hanya saja stok minyak mentah justru bertambah sebesar 2,1 juta barel minggu lalu, sehingga tetap menekan harga.
Penguatan dolar AS setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden turut memengaruhi harga minyak. Dolar yang kuat membuat komoditas yang diperdagangkan dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli internasional.
Dengan proyeksi surplus pasokan minyak pada tahun 2025, serta revisi permintaan global yang lebih rendah dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA), tren untuk ETF USO menunjukkan kondisi downward.
“Momentum penurunan harga ini didorong oleh lemahnya permintaan global serta penguatan dolar AS,” katanya.
Iran, dalam konteks ini, telah mengantisipasi kemungkinan sanksi yang lebih ketat dari AS di bawah kepemimpinan Trump. Menteri Perminyakan Iran Mohsen Paknejad menegaskan kesiapan Iran untuk mempertahankan produksi minyak sekitar 3,2 juta barel per hari, dengan fokus ekspor ke China yang mendapat potongan harga hingga 15%.
“Hal ini menunjukkan ketahanan Iran menghadapi sanksi, yang tetap memicu tekanan lebih lanjut pada pasokan global,” paparnya.
Sementara itu, harga emas terus mengalami penurunan tajam, dengan ETF GLD kini berada di posisi terendah sejak awal November setelah mengalami penurunan sekitar 5%.
Di pasar berjangka, kontrak emas untuk pengiriman Desember jatuh sekitar 1.08% di India, dan kontrak emas global di Comex turun sekitar USD29.10 per ounce. Tekanan ini terutama dipicu oleh penguatan dolar AS yang signifikan pasca-kemenangan Trump.
“Yang mendorong harapan kebijakan ekonomi ekspansif dan mengangkat indeks dolar ke level tertinggi dalam setahun terakhir,” ujarnya.
Tidak hanya hal tersebut, meningkatnya pendapatan obligasi Amerika Serikat membuat anjlok ketertarikan kepada emas selaku aset safe haven sebab emas memberikan nilai yang berbeda dari obligasi.
Inflasi AS yang bertahan di atas target 2% dari Federal Reserve turut meningkatkan kekhawatiran bahwa penurunan suku bunga mungkin tidak segera dilakukan, semakin menekan harga emas.
“Dengan kondisi ini, tren untuk GLD berada dalam posisi downward, dipengaruhi oleh penguatan dolar AS dan kemungkinan penundaan pemotongan suku bunga oleh The Fed,” kata Devin.
Harga perak juga tertekan selama seminggu terakhir. ETF SLV mencatat penurunan lebih dari 2%, mengikuti penurunan harga emas.
Harga perak turun sekitar USD2.310 per kilogram di pasar India dan turun sekitar 2% di pasar global. Penyebab utama penurunan harga perak serupa dengan emas, yaitu penguatan Dolar AS pasca-kemenangan Trump serta kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Penguatan Dolar AS membuat komoditas logam seperti perak lebih mahal bagi pembeli internasional, sehingga mengurangi daya tariknya sebagai investasi safe haven.
“Tren SLV saat ini berada dalam kondisi downward, dengan momentum penurunan didorong oleh peningkatan imbal hasil obligasi dan apresiasi Dolar AS,” paparnya.
Saat ini, pasar komoditas global, khususnya emas, perak, dan minyak, menghadapi tantangan berat dari faktor-faktor makroekonomi yang dipengaruhi oleh politik dan kebijakan ekonomi AS. Kemenangan Donald Trump telah memperkuat dolar AS dan meningkatkan imbal hasil obligasi, sehingga harga logam mulia mengalami tekanan.
Sementara itu, minyak masih menghadapi ketidakpastian permintaan, khususnya dari China, meskipun penurunan stok bensin dan distilat di AS menjadi tanda permintaan domestik yang tetap ada.
Geopolitik juga memengaruhi dinamika pasar minyak, terutama dengan kesiapan Iran untuk mengatasi pembatasan ekspor yang diperketat melalui peningkatan ekspor ke China.
Untuk logam mulia, investor mungkin mempertimbangkan strategi seperti dollar-cost averaging untuk akumulasi jangka panjang di tengah penurunan harga emas dan perak ini. Sedangkan bagi investor minyak, penting untuk memantau kebijakan ekonomi AS dan perkembangan permintaan global karena ketidakpastian permintaan dan ancaman surplus pasokan di masa depan.
Quotient Fund Indonesia adalah perusahaan konsulting keuangan global, berkantor pusat di Quotient Center Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dan dapat dihubungi di hotline 0811-1094-489
For more information or participation inquiries, feel free to contact our hotline: 0818-0454-4489 (Surabaya),
0811-1534-489 (Jakarta),
0817-4890-999 (Tangerang),
or visit the nearest Quotient Center. Spaces are limited.