Qnews.co.id, JAKARTA – Pemerintah Provinsi Papua Barat mengklaim tingkat kemiskinan tahun 2023 di provinsi tersebut mengalami penurunan sebesar 2,97 persen poin menjadi 6,46 persen, jika dibandingkan periode 2022 yang mencapai 9,43 persen.
Asisten II Sekretariat Daerah Papua Barat Melkias Werinussa di Manokwari menjelaskan, penurunan tingkat kemiskinan ekstrem tersebut cukup signifikan.
“Tingkat kemiskinan ekstrem terus menurun dari tahun 2021 (10,28 persen) sampai 2023. Tahun 2024, kami target akan turun lagi,” kata Melkias dikutip, Kamis (26/9).
Dia menyebut ada tiga strategi utama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi masalah kemiskinan ekstrem.
Strategi pertama, mengurangi beban pengeluaran masyarakat melalui penyaluran bantuan sembako.
Kemudian, bantuan sosial langsung tunai, kegiatan pangan murah, pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi masyarakat miskin, dan penanganan khusus kelompok rentan.
Strategi kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat melalui program bantuan sarana produksi pertanian, alat tangkap ikan dan perahu motor bagi nelayan, pengelolaan kampung wisata, pengembangan usaha ekonomi kreatif, dan lainnya.
Strategi ketiga, meminimalkan wilayah kantong kemiskinan dengan program pengembangan sistem penyediaan air bersih, sanitasi layak, pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat miskin, pengadaan mesin genset dan solar sel untuk penerangan kampung.
“Tingkat kemiskinan ekstrem terus menurun dari tahun 2021 (10,28 persen) sampai 2023. Tahun 2024, kami target akan turun lagi,” kata Melkias.
Selain tiga strategi utama, kata dia, pemerintah daerah juga menerapkan tiga instrumen kebijakan guna mewujudkan konvergensi program penanganan masalah kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah Papua Barat.
Tiga instrumen kebijakan itu meliputi, penetapan wilayah prioritas, menyiapkan data sasaran penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE), dan penyediaan pedoman umum percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
“Dengan tiga instrumen itu diharapkan intervensi penanganan kemiskinan ekstrem lebih konsisten dan maksimal,” katanya.
Meski demikian, Melkias mengakui proporsi pendanaan APBD terhadap program pada strategi peningkatan pendapatan masyarakat masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan alokasi pendanaan program untuk dua strategi lainnya.
Langkah yang perlu dilakukan pemerintah daerah antara lain, memastikan kelompok desil 1 menjadi prioritas dan menerima lebih dari satu program, optimalisasi program padat karya, optimalisasi dana kampung, dan dana insentif fiskal.
Kemudian, pengembangan skema graduasi program terpadu agar kelompok penerima bantuan sosial menjadi produktif dan mandiri, serta memastikan langkah konvergensi komplentaritas program mengarusutamakan pemberdayaan ekonomi bersama.
“Keseluruhan pelaksanaan strategi dan program intervensi tentu perlu adanya pengendalian dan evaluasi berkala supaya dapat mengukur efektivitas dan efisiensinya,” ujar Melkias.
Ia menilai bahwa keberhasilan penanganan masalah kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah Papua Barat, membutuhkan peran kolaborasi lintas pemangku kepentingan mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten.
Perumusan kebijakan, harmonisasi, dan pelaksanaan program yang diselenggarakan di setiap wilayah harus melibatkan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) sebagai motor penggerak.
“Kewenangan TKPK telah diperluas yang diatur melalui Permendagri Nomor 53 Tahun 2020,” ucap Melkias.
Dia berharap dengan adanya rapat koordinasi pengentasan kemiskinan ekstrem tahun 2024 yang dihadiri pemangku kepentingan dari tujuh kabupaten, memberikan efek positif terhadap pelaksanaan program.
Hal tersebut perlu ditunjang dengan ketersediaan data yang akurat dan telah diperbaharui agar intervensi program lebih tepat sasaran, dan target penurunan angka kemiskinan ekstrem bisa tercapai.