Qnews.co.id, JAKARTA – Tim Advokasi untuk Gunung Tanah menilai ancaman kriminalisasi terhadap dua mahasiswa, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis sebagai tindakan yang berlebihan dan harus dihentikan.
Kriminalisasi itu bermula ketika JATAM bersama beberapa warga Halmahera, Maluku Utara, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur menggelar demonstrasi di depan kantor pusat IWIP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta pada Kamis (1/8).
Demonstrasi tersebut merupakan ekspresi kemarahan dan kekecewaan masyarakat Halmahera atas banjir bandang yang menenggelamkan Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Maluku Utara sepanjang 21-24 Juli 2024.
Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Al Farhat Kasman menjelaskan, bencana banjir berulang dipicu oleh penggusuran hutan yang masif. Merujuk data Forest Watch Indonesia, deforestasi akibat pertambangan di Provinsi Halmahera Tengah mencapai luas 2.739,80 hektare sepanjang 2021-2023.
Khusus PT Weda Bay Nickel yang masuk di Provinsi Halmahera Tengah, kata Al Farhat, telah menyebabkan deforestasi seluas 1.783,89 hektare.
PT Weda Bay Nickel juga telah mengakibatkan deforestasi di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan total luasan 2.612,06 hektare.
“Kehilangan tutupan pohon yang dominan pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi,” ujar Farhat di Jakarta, Senin (9/9).
Banjir yang terjadi telah melumpuhkan dan mengisolasi desa-desa pusat operasi IWIP, antara lain: Lelilef Woebulan; Lukulamo; wilayah Transmigran Kobe di Weda Tengah yang meliputi: Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya. Banjir pun meluas ke Sagea sampai wilayah Transmigran Waleh, Weda Utara, dan memaksa setidaknya 1,700 warga untuk mengungsi.
Di Halmahera Timur, banjir merendam setidaknya 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur.
Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
JATAM menilai Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi akibat aktivitas tambang nikel. Selain itu, terdapat perampasan ruang pangan, ruang hidup, hingga perampasan hak atas air dan udara yang bersih dan sehat.
Kondisi tersebut merupakan bentuk kekerasan dan penindasan gaya baru terhadap penduduk Halmahera yang dipaksa hidup berdampingan dengan bencana, akibat kerusakan ekologinya disertai pencemaran.
“Jika kondisi ini terus dipertahankan, kerusakan ekologi berujung pada semakin tingginya angka kemiskinan,” terang Farhat.
Selain kekerasan berdimensi ekologi, aktivitas tambang juga menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.
Laporan JATAM terbaru membeberkan berbagai ancaman, intimidasi, hingga kekerasan yang dilakukan preman, polisi, dan aparat pemerintah desa untuk mendukung perampasan lahan dari masyarakat Halmahera, atas nama perusahaan.
Kekerasan laten juga diterima pekerja tambang dengan mengabaikan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sedikitnya 26 pekerja tewas selama IWIP dan PT Weda Bay Nickel beroperasi sejak 2018.
Juru Kampanye Trend Asia Arko D. Tarigan menilai, ada dugaan kuat keterlibatan bisnis Jenderal (purn) Suaidi Marasabessy dan Menko Luhut Binsar Panjaitan di IWIP. Arko lalu mempertanyakan keberadaan Suaidi yang terkesan ‘pasang badan’ dan bertindak sebagai mediator antara massa aksi dengan IWIP.
“Keberadaan kantor IWIP di Sopo Del Tower, gedung milik Luhut, menunjukkan adanya konflik kepentingan antara Luhut sebagai pengusaha dan pejabat yang mendapatkan keuntungan dari IWIP. Dugaan ini semakin kuat dengan keterlibatan Suaidi dalam perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut,” papar Arko.
Sementara itu, Divisi Hukum KontraS Vebrina Monicha menyebutkan sebanyak 304 orang pembela HAM telah dikriminalisasi, 83 kasus di antaranya berada di sektor sumberdaya alam.
Dalam kasus kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM yang memperjuangkan lingkungan akibat terdampak PT. IWIP, Christina dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Suaidi Marasabessy, mantan purnawirawan TNI.
Semestinya, sejak awal pihak kepolisian harus menolak laporan tersebut dikarenakan aktivitas Christina merupakan pejuang lingkungan hidup yang dilindungi oleh Pasal 66 UUPPLH.
“Selain itu, kami menyoroti PT IWIP yang berstatus sebagai objek vital nasional dapat dijaga oleh pasukan TNI/POLRI. Dalam konteks ini, kebijakan tata kelola pengamanan obvitnas sangatlah bermasalah dari segi akuntabilitas dan transparansi pada praktik di lapangan,” terangnya.
Lebih lanjut, Vebrina menilai kebijakan tersebut telah menyeret institusi TNI ke ranah bisnis keamanan yang mengakibatkan prajurit tidak profesional karena ditempatkan tidak pada tupoksinya sesuai peraturan perundang-undangan.
Senada, Kepala Divisi Hukum JATAM Muhamad Jamil mengungkapkan, ancaman kriminalisasi terhdap kedua mahasiswa Maluku di Jakarta tersebut merupakan upaya pembungkaman partisipasi publik pejuang lingkungan atau dikenal dengan istilah SLAPP.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 66 UUPLH yang menyatakan: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Juga amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sebaliknya, imbuh Jamil, tindakan mengancam dan mengintimidasi melalui media elektronik merupakan tindak pidana sebagaimana ketentuan pasal 335 jo. 369 KUHP serta UU ITE dapat dipenjara paling lama 4 tahun dan denda Rp 750 juta.
Edy K Wahid dari YLBHI menilai, secara kontekstual ucapan Christina mewakili kepentingan publik yang dikaitkan dengan peran Suaidi dalam usahanya meredam aksi-aksi protes Christina dkk.
“Sehingga pernyataan Christina tidak dapat dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik. Ucapan Christina adalah penilaian terhadap peran Suaidi di IWIP yang sekarang di sekitarnya terjadi banjir dan menimbulkan korban,” ujarnya.
Perbuatan seperti itu, menurut Edy, sudah dikecualikan dari SKB UU ITE. Pada dasarnya, aksi massa merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, sehingga tidak seharusnya dilaporkan menggunakan pasal pencemaran nama baik atau tindak pidana lainnya.
Edy mengingatkan laporan semacam itu adalah fenomena yang terus menerus terjadi di berbagai tempat. Pada dasarnya SLAPP adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.
“Di Indonesia, pengaturan Anti SLAPP ada di UU 32 Tahun 2009 untuk melindungi pembela HAM lingkungan. Ada juga di Peraturan Kejaksaan, Peraturan Mahkamah Agung, dan yang terbaru, Permen LHK No. 10/2024 tentang Perlindungan Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat,” paparnya.