Qnews.co.id, JAKARTA – Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai skandal mafia hukum yang melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) dengan temuan uang senilai Rp1 triliun sebagai contoh nyata dari praktik makelar kasus yang telah lama mengakar dalam sistem peradilan Indonesia.
Menurut Abdul Fickar, mafia hukum atau praktik suap-menyuap di kalangan hakim adalah penyakit sistemik yang terus terjadi karena adanya relasi ketergantungan antara pencari keadilan dan hakim yang memiliki kewenangan dalam memutus perkara.
“Sejak dulu, praktik seperti ini sudah ada. Ketika pencari keadilan bergantung pada hakim, masuklah pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan melalui hubungan mereka dengan hakim,” kata Abdul Fickar saat dihubungi Qnews.co.id Selasa, (29/10).
Ia menyebut kasus Zarof Imini sebagai contoh yang relevan dengan istilah makelar kasus atau makelar perkara.
“Ini adalah ekses dari sistem. Kasus ini sangat sistemik karena berulang-ulang terjadi. Temuan uang yang spektakuler menunjukkan betapa rakusnya para pelaku,” tambahnya.
Dalam pandangan Abdul Fickar, posisi para pelaku yang terlibat dalam mafia hukum, terutama jika mereka adalah hakim atau pihak di pengadilan, harus menjadi faktor pemberat dalam penjatuhan hukuman.
“Status mereka sebagai hakim harus menjadi faktor pemberat. Para pelaku ini pantas dihukum maksimal, bahkan seumur hidup,” tegasnya.
Abdul Fickar juga mengkritik pernyataan MA yang menyebut bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kasus ini karena pelaku sudah tidak lagi menjadi pegawai. Ia menilai pernyataan tersebut sebagai upaya “cuci tangan” yang tidak bertanggung jawab.
“Mafia kasus ini sudah lama terjadi. Beberapa hakim agung bahkan pernah terkena OTT. Ini menunjukkan bahwa mafia kasus adalah fenomena yang terus berulang,” jelas Hadjar.
Hadjar juga menyoroti lemahnya pengawasan dari Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, pengawasan yang dilakukan KY hampir tidak berdampak signifikan.
“Mafia peradilan terus berjalan sementara tidak jelas apa yang dikerjakan KY. Ini jelas menunjukkan bahwa upaya pengawasan belum efektif,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa jika Zarof Imini sudah mengakui adanya hubungan dengan hakim MA, seharusnya hal ini menjadi dasar untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap hakim-hakim lainnya.
“Dengan posisi Zarof sebagai Kapusdiklat, hampir semua hakim pasti pernah berhubungan dengannya. Tidak mustahil mereka juga pernah menjadi ‘kliennya’. Penyidikan harus intensif untuk mengejar pihak lain yang terlibat,” ujarnya.
Menurut Abdul Fickar, kenaikan gaji tidak akan mampu mengatasi masalah yang ada.
“Berapa pun gaji dinaikkan, mafia kasus ini tetap ada. Beberapa hakim agung yang terkena OTT gajinya besar, tetapi mereka tetap korup. Ini karena kekuasaan cenderung korup dan membuat orang menjadi rakus,” jelas Abdul Fickar, mengutip pandangan Lord Acton.
Sebagai solusi, Hadjar mengusulkan agar sistem pengawasan diarahkan untuk melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
“Pengawasan harus dilakukan tidak hanya oleh Tuhan, tetapi juga oleh masyarakat. Namun, tentu saja, ini tidak mudah. Tuhan saja diabaikan, apalagi masyarakat,” katanya.
Ia menekankan bahwa mafia hukum dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan, tidak hanya hakim, tetapi juga jaksa, advokat, panitera, dan bahkan pihak luar yang memiliki pengaruh dalam peradilan.
Dengan adanya temuan ini, Hadjar mendesak adanya upaya penyidikan yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam jaringan mafia hukum dapat diadili dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.