Penanganan Kasus Mega Korupsi Pertamina Rp 285 Triliun, Terkesan Kejagung Tegakkan Hukum Setengah Hati

Qnews.co.id – Penetapan Moch Riza Chalid (MRC) sebagai tersangka oleh Kejagung dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 sampai dengan 2023 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp285 triliun, hanyalah potret puncak gunung es. Bahkan penetapan MRC sebagai tersangka, diduga karena ada dosa MRC kepada Presiden Prabowo Subianto di masa lalu.

“Publik menunggu ketajaman pisau hukum Kejagung untuk menebas para begundal papan atas pelaku mega korupsi Pertamina yang menyumbangkan kemiskinan rakyat,” ungkap Pemerhati Intelijen Sri Radjasa MBA, Selasa (22/7/2025) di Jakarta.
 
Pertanyaan yang harus dijawab kejagung, lanjut Radjasa, ada apa dengan Nicke Widyawati mantan Dirut Pertamina yang sudah dijemput oleh petugas Pidsus dari RS Medistra pada 10 Juli 2025 untuk ditahan, kemudian muncul ada instruksi Jaksa Agung kepada Dirdik Jampidsus, agar status tersangka Nicke Widyawati ditangguhkan.

Bacaan Lainnya

“Jika benar informasi tersebut jelas sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan cenderung ke perbuatan obstruction of justice, justru dilakukan oleh pejabat tinggi hukum yang kontraproduktif dengan kebijakan Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi,” beber Radjasa.

Apalagi, lanjutnya, beredar kabar sejak proses penyidikan berlangsung mulai akhir 2024 hingga saat ini sudah beredar uang ratusan miliar di tangan makelar kasus alias Markus untuk menyelamatkan pihak yang berpotensi jadi tersangka.
 
“Terkait kasus mega korupsi Pertamina, masih banyak sisi gelap yang harus diungkap kepada publik, agar publik dapat mengukur sejauh mana ketajaman Kejagung mengungkap kasus korupsi di negeri ini atau di balik pengungkapan kasus-kasus korupsi, malah oknum petinggi Kejagung ikut menikmati residu hasil korupsi,” lanjut Radjasa.

Hal menonjol dari pengungkapan kasus mega korupsi Pertamina, kata Radjasa, adalah tidak ditetapkannya sebagai tersangka terhadap Mars Ega Legowo Putra sewaktu menjabat Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) yang bersama Alvian Nasution sebagai Dirut, karena akibat perhitungan formula BBM penugasan Pertalite Ron 90 yang mengusulkan klaim kepada menteri ESDM melalui Dirut Pertamina Nicke Widyawati, menurut BPK RI  telah merugikan negara Rp. 13,199 triliun.

“Kemudian akibat kebijakan mereka menjual solar industri ke BUMN dan swasta terbesar Adaro grpup, mendapat harga khusus di bawah harga solar subsidi, menurut perhitungan BPK RI telah merugikan negara sebesar Rp 9,415 triliun,” urai Radjasa.
 
Radjasa mengatakan, mulai tercium aroma tebang pilih yang dilakukan oleh Kejagung dalam kasus mega korupsi Pertamina.

“Karena hingga saat ini tidak menetapkan sebagai tersangka Nicke Widyawati, Marga Ega Putra Legowo, Boy Tohir dan Mulyono serta Erry Widiastono mantan Direktur Logistik dan Infrastruktur PT Pertamina (Persero) yang bertanggung jawab sebagai stering commite optimasi hilir Pertamina,” tegas Radjasa.

Disebutkan Radjasa, Kejagung harus mengusut dugaan keterlibatan Dirut KPI Taufik Adityawarman yang diduga melakukan pembiaran dan memberikan otorisasi USD 500 juta untuk pengadaan minyak mentah kepada Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT KPI Sani Dinar, sesuai surat nomor A09-003/KP161.000/2022-S9 tanggal 22 Juli 2022 yang ditanda tangani oleh Direktur Keuangan PT PIS FH Hutabarat.

“Kejagung harus mengusut dugaan keterlibatan Surya Tri Harto sewaktu menjabat Direktur SDM & Corporate Service PT Pertamina International Shipping yang sejak tahun 2023 terjadi praktek kartel oleh lima perusahaan ditunjuk sebagai Ship Management yang memungut sekitar 30 persen dari sewa tanker kepada ratusan perusahaan pemilik tangker, kabarnya puluhan triliun jumlahnya sejak 2023 hingga akhir tahun 2024,” imbuh Radjasa.

Konon kabarnya, kata Radjasa, pengelola Ship Management dengan pejabat PIS di akhir pekan selalu bertemu di Thailand sambil main golf dan bersenang-senang.

Adapun lima perusahaan yang ditunjuk oleh Dirut PIS Yoki Firnandi sebagai Ship Management, berinisial PT SIM, PT GBL,PT WNS, PT CTP dan AS.

“Sehingga kasus mega korupsi Pertamina yang sistemik masif dan terstruktur, harus dilihat dalam konteks korupsi kebijakan, oleh karenanya Erick Tohir sebagai menteri BUMN, sebagai penentu kebijakan pertamina melalui penunjukan Direksi Holding ke Subholding dan setiap tahun menandatangani persetujuan RKAP PT Pertamina (persero), tentunya wajib memiliki tanggung jawab atas terjadinya mega korupsi tata kelola minyak pertamina periode 2018 sd 2023 yang telah merugikan negara sebesar Rp.285 triliun,” ungkap Radjasa.

“Sudah saatnya bagi Kejagung tidak hanya menjadi jawara pengungkapan kasus korupsi, tapi kejagung harus merebut treble winner dalam perlombaan pemberantasan korupsi yang sudah memiskinkan rakyat Indonesia,” pungkas Radjasa.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan