Penggeledahan KLHK, Ironi Perbaikan Tata Kelola lewat Pemutihan Sawit

ekerja mengumpulkan kelapa sawit di Desa Mulieng Manyang, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Aceh, Rabu (3/11/2021). Foto: ANTARA

Qnews.co.id, JAKARTA – Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengingatkan pentingnya aspek transparansi atau keterbukaan informasi sebagai perhatian sejak awal saat agenda pemutihan sawit ramai digaungkan ke publik.

Selama ini, peran publik dalam mengawasi proses pemutihan sawit tidak berjalan baik, lantaran data, informasi, dan perkembangan terkait pemutihan sawit tidak tersedia dan tidak terbuka kepada publik.

Bacaan Lainnya

“Bahkan saat Menteri LHK menyatakan proses ini dapat dibuka, faktanya data resmi sulit diakses. Kami telah mencoba bersurat resmi ke Kementerian LHK, namun tidak berbuah manis,” ujar Rambo di Bogor, Minggu (13/10).

Satu-satunya informasi perkembangan proses pemutihan sawit yang diperoleh Sawit Watch hanyalah berasal dari uji materiil di Mahkamah Agung (MA). “Tertutupnya proses ini dikhawatirkan berpotensi besar menjadi celah tindak pidana korupsi,” tegas Rambo.

Sebelumnya, September 2023, Sawit Watch melakukan uji materiil ke MA atas peraturan teknis mekanisme pemutihan sawit yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan.

MA, kata Rambo, telah memutuskan perkara itu pada 21 Desember 2023 dengan menolak permohonan uji materiil yang kemudian dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 P/HUM/2023.

“Melalui keputusan itu, kami mendapatkan sejumlah fakta menarik terkait pemutihan sawit,” papar Rambo.

Data pemerintah menunjukkan terdapat sedikitnya 3.690 subjek hukum pemutihan sawit yang tertuang pada 15 (lima belas) Surat Keputusan Menteri LHK yang telah dikeluarkan pada rentang Juni 2021 hingga Oktober 2023.

Namun dari angka itu, terdapat 17 subjek hukum yang diberikan pelepasan kawasan hutan dan hanya 35 subjek hukum yang dikenakan sanksi administratif (denda, provisi sumber daya hutan (PSDH) serta dana reboisasi (DR)).

Rincian perkembangan sanksi administratif pada periode 1 Januari 2023 hingga 28 Oktober 2023 berdasarkan PP 24/2021 yang telah dibayar sejumlah Rp239 miliar. Berikutnya PSDH dari keterlanjuran tebang sebesar Rp. 61 M, dan dana reboisasi dari keterlanjuran tebang mencapai Rp13 juta.

“Atas fakta itu, kami melihat ada keterhubungan antara proses pemutihan sawit dengan celah tindak pidana korupsi dalam tata kelola sawit di kawasan hutan,” terang Rambo.

Proses itu tidak berjalan maksimal, karena hanya segelintir perusahaan saja yang menjalani mekanisme tersebut. Artinya kebijakan itu dipertanyakan efektifitasnya karena tidak berjalan sesuai harapan.

“Sudah seharusnya proses penegakan hukum kembali ditegakkan bagi korporasi yang melakukan kegiatan ilegal sawit, alih-alih melakukan pemutihan,” tukas Rambo.

Senada, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) Ahmad Zazali mengungkapkan hasil analisis perkembangan penerapan sanksi administratif bagi usaha di kawasan hutan tanpa izin hingga Agustus 2022.

Hasilnya, terlihat kinerja Kementerian LHK dalam penyelesaian usaha dalam kawasan hutan tanpa izin masih sangat rendah dan terkesan lamban. Dari 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan data oleh KLHK, ternyata baru 240 subjek hukum yang melengkapi data.

Lalu sebanyak 65 subjek hukum sudah sampai tahap dilakukan verifikasi lapangan dan 48 subjek hukum yang sudah sampai tahap penafsiran citra satelit resolusi tinggi. Serta sedikitnya 15 subjek hukum yang telah membayar denda.

Menurut Zali, sejak awal transparansi dan akuntabilitas Kementerian LHK sangat dinantikan publik, utamanya terkait besaran denda yang berhasil dikumpulkan dalam rekening KLHK.

“Siapa saja nama-nama pelaku usaha korporasi dan individu yang telah diloloskan atau diputihkan oleh KLHK harus dibuka secara transparan ke publik,” tegasnya.

Dari informasi yang berkembang, kata Zali, diduga penyelesaiannya melibatkan kongkalikong. Bahkan penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Agung di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Kamis (3/10) diyakini terkait dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi.

“Terkait penentuan besaran denda,” tegas Zali.

Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan mengingatkan bahwa sebagai kuasa hukum dari Sawit Watch, pihaknya akan menindaklanjuti sejumlah hal yang mendasari putusan MA, utamanya bersandar dari keterangan pemerintah.

Pertama, terkait dijadikannya UU Cipta Kerja sebagai landasan, padahal undang-undang tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan telah diganti dengan Perpu yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang oleh DPR.

Kedua terkait kesenjangan antara jumlah subjek hukum dengan jumlah yang ditangani oleh pemerintah.

“Kedua hal itu menunjukan perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja yang menjadi landasan hukum PP No. 24/2021 tidak cukup, sehingga terbuka peluang untuk diuji ke MK,” papar Gunawan.

Selain itu, ucap Gunawan, perlu perbaikan tata kelola penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan dan tata kelola kebun sawit itu sendiri, sehingga tidak berwatak ekspansif.

Sementara itu, Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengingatkan tentang pentingnya pembatasan pengembangan komoditas sawit. Pasalnya, kajian terbaru Sawit Watch bersama aliansi masyarakat sipil menunjukkan batas atas luasan perkebunan sawit di Indonesia hanyalah sebesar 18,15 Juta hektar.

“Kami menuntut pemerintah agar fokus pada luasan sawit yang ada dengan mengedepankan intensifikasi dan memperbaiki tata kelola sawit dengan mengedepankan prinsip keterbukaan,” paparnya.

Sementara itu, pascapenggeledahan, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menjelaskan kerja yang mereka lakukan berhubungan dengan tata kelola perkebunan sawit, khususnya dugan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal tahun 2005-2024.

Atas penggeledahan itu, Rambo berharap proses yang berlangsung bisa membawa titik terang tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Fakta dan temuan perlu digali lebih dalam dan menyeluruh. Jangan sampai proses pembenahan tata kelola sawit yang selama ini dijalankan menjadi tidak optimal,” ucap Rambo mengingatkan.

Upaya-upaya perbaikan tata kelola sawit menuju keberlanjutan, terang Rambo, masih harus menempuh jalan panjang serta dibutuhkan kesungguhan dan komitmen penuh dari banyak pihak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan