Qnews.co.id, JAKARTA – Secara mengejutkan, SMPN 8 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, terpaksa menerapkan lockdown setelah 43 siswa kedapatan menderita penyakit cacar air dan gondongan.
Pihak sekolah memutuskan untuk memberlakukan lockdown atau pengendalian penyebaran penyakit selama 14 hari, demi mencegah penularan kian meluas.
Informasi yang diterima Qnews.co.id menyebutkan, wabah cacar air itu bermula dari satu orang siswa. Saat itu, siswa tersebut tengah menjalani ulangan tengah semester (UTS), lalu tanpa disadari telah menularkan ke banyak siswa lainnya.
K epala sekolah SMPN 8 Muslih menjelaskan, pihak sekolah akhirnya menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk menghindari penyebaran virus penyakit.
Dari penelusuran pihak sekolah, kata Muslih, penyakit cacar air bersumber dari seorang siswa yang tetap masuk untuk mengikuti ujian ujian tengah semester. Dari situ kemudian menular ke siswa lainnya.
“Pada saat 23 – 27 September ada UTS di sekolah. Saat itu ada siswa yang kebetulan kena cacar tapi dia ikut ulangan. Dari situ kita indikasikan terjadinya penyebaran,” ujar Muslih.
Masih menurut Muslih, sebagian besar siswa yang terjangkit cacar air merupakan siswa yang berasal dari kelas yang sama.
Untuk mengatasi hal itu, pihak sekolah lalu berkoordinasi dengan puskesmas setempat. Hasilnya, pihak puskesmas memberikan rekomendasi agar SMPN 8 menghentikan pembelajaran secara langsung dan menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
“PJJ akan berlangsung hingga akhir Oktober,” terangnya.
Akibat peristiwa itu, sedikitnya 23 siswa menderita cacar air dan 8 siswa mengalami gondongan atau pembengkakan kelenjar ludah. Dua penyakit tersebut menular melalui media yang berbeda.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi, dikutip dari detikcom, menilai lockdown memang diperlukan untuk memutus rantai penyebaran cacar air di SMPN 8 Tangsel.
Menurut dr Adib pemberlakukan lockdown tidak lantas menghilangkan kegiatan belajar mengajar. Artinya, pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap harus dilakukan, sehingga siswa tidak ketinggalan pelajaran.
Berkaca dari penanganan COVID-19, Indonesia, kata dr Adib, telah memiliki pengalaman yang sangat baik dalam menerapkan pembatasan kegiatan di tengah risiko penularan virus, secara efektif. Meski begitu, kata dr Adib, bukan hanya lockdown yang diperlukan sebagai intervensi utama.
Surveilans atau pemantauan juga perlu dilakukan. Bahkan yang terpenting, ujarnya, para siswa juga perlu ditingkatkan gizinya agar tidak mudah terserang penyakit menular.
“agar dia tahan dengan penyakit-penyakit virus,” imbuhnya.
Lalu setelah dua minggu dilaksanakannya lockdown, pihak sekolah, kata dr Adib perlu memastikan bahwa tidak ada lagi siswa yang terpapar cacar air.