Qnews.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) mengeluarkan Putusan Sela Nomor 132-PS/PUU-XXII/2024 terkait Uji Formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Dalam pertimbangannya, MK memandang perlu menjatuhkan putusan sela pada Kamis (14/15). Putusan sela bertujuan untuk menunda pemeriksaan persidangan permohonan pengujian formil yang diajukan oleh AMAN, WALHI, KIARA dan Mikael Ane yang tergabung dalam Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan hingga selesainya persidangan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024.
MK juga memerintahkan kepada pemerintah dan pihak lain agar tidak menerbitkan peraturan pelaksana yang berkaitan dengan UU 32/2024 sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi. Hal itu untuk menghindari dampak yang lebih luas sebelum mahkamah menilai konstitusionalitas pengujian formil atas proses pembentukan undang-undang KSDAHE.
MK memandang kehadiran putusan sela diperlukan demi menghindari dampak-dampak yang akan timbul dari berlakunya UU 32/2024 yang pemeriksaannya sedang diberhentikan sementara waktu. Hal itu untuk memberikan kepastian hukum pada hak-hak konstitusional para pemohon dan seluruh warga negara.
Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi mengingatkan bahwa kehadiran Putusan Sela MK berarti seluruh proses pembuatan di bawah Peraturan KSDAHE harus dihentikan.
“Saya menyerukan agar pemerintah mematuhi Putusan Sela ini, untuk segera menghentikan proses pembuatan peraturan dibawah UU KSDAHE” kata Rukka.
Senada, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI, Teo Reffelsen menjelaskan bahwa Putusan Sela itu sejalan dengan permohonan provisi yang diajukan.
“Karena jika peraturan pelaksana UU KSDAHE dibentuk pemerintah atau pihak lain selama proses pengujian formil sedang berlangsung, tidak tertutup kemungkinan peraturan tersebut berdampak buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) serta lingkungan hidup,” paparnya.
Oleh karenanya, kata Teo, pemerintah dan pihak lain yang berhubungan dengan UU ini tidak boleh mengambil tindakan apapun yang membangkang pada putusan sela ini, sebelum adanya putusan akhir.
Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menekankan tentang peran pemerintah dalam menghentikan proses pembuatan peraturan di bawah UU KSDAHE, mengingat terdapat sedikitnya 10 ketentuan norma yang mendelegasikan
pengaturan dalam UU 32/2024 untuk diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah.
Sebelum adanya putusan tetap dari MK, pengaturan lebih lanjut dari UU 32/2024 ini justru akan memberikan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Selama ini, kata Susan, masyarakat adat dan komunitas lokal telah melakukan praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara komunal yang berkelanjutan, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Karena itu, Susan menegaskan, “Pengujian formil ini membuktikan ke pemerintah sebagai penyusun peraturan perundang-undangan untuk menjalankan asas meaningfull participation (Partisipasi yang bermakna) dari masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL).
“Serta partisipasi bermakna itu, tidak hanya diukur dari kuantitas melainkan juga kualitas, serta diakomodirnya masukan dari para MAKL dalam proses pembentukan UU 32/2024 ini,” tegasnya.
Pada putusan yang sama, MK juga mempertegas dalam konteks uji formil tersebut, sejumlah syarat telah dipenuhi oleh para pemohon.
Misalnya dalam konklusi, MK menyatakan pihaknya berwenang mengadili permohonan uji formil serta permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil.
Serta penegasan bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.