Qnews.co.id, JAKARTA – Warga dari 10 komunitas masyarakat adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, menyatakan menolak proyek penambangan panas bumi yang akan merampas ruang hidup mereka.
Warga dari 10 komunitas itu, meliputi komunitas masyarakat adat Gendang Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Cako, Ncamar, Rebak, Jong, Tere, dan Lungar.
Dalam forum yang diadakan Monkey Forest bersama Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) pada Kamis, 14 November 2024, 10 komunitas warga menyatakan menolak perluasan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 ke Poco Leok.
Melalui forum tersebut, warga Poco Leok menuntut Bank Pembangunan dan Investasi asal Jerman yang akan membiayai proyek tersebut agar menghentikan pendanaan dan meminta maaf kepada warga Poco Leok.
Perempuan adat Poco Leok, Mama Elisabeth (57) menuntut KfW agar bertanggung jawab atas rentetan kekerasan terhadap masyarakat selama ini. Kata Elisabeth, KfW secara tidak langsung menjadi pelaku kejahatan hak asasi manusia (HAM) di Poco Leok.
“Bank Jerman harus bertanggung jawab dan meminta maaf atas pelanggaran HAM yang terjadi di Poco Leok,” ujarnya di Manggarai, Jumat (15/11).
Ia menceritakan proyek ekstraksi panas bumi tersebut telah mengancam keselamatannya, keluarganya, dan keselamatan seluruh warga Poco Leok.
“Proyek ini mengancam kami, terutama ibu-ibu dan perempuan. Kami menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual dan intimidasi selama berjuang mempertahankan tanah kami dari proyek geotermal,” papar Mama Elisabeth.
Sebagai petani yang mempertahankan runang hidup dengan mengolah lahan, ia menginginkan rumah dan tanah miliknya tetap utuh untuk anak-cucu dan keturunannya kelak.
“Kami tetap menolak, sampai kapanpun. Kami siap apapun risikonya. Kami tidak takut. Kami siap berjuang sampai mati,” terang Elisabeth.
Agustinus Tuju (52) juga menyatakan sikap penolakan terhadap proyek ekstraksi panas bumi di Poco Leok. Ia meminta KfW mendengar dan berpihak pada kepentingan masyarakat Poco Leok.
Menurut Agustinus, KfW harus menghentikan pendanaan. Pasalnya, saat bank Jerman terus mendanai proyek, maka proyek itu akan berjalan dan mengancam kehidupan masyarakat adat Poco Leok.
“Penegasan kami, hentikan pendanaan. Dan dengarkan aspirasi, serta keluhan masyarakat Poco Leok,” kata Agustinus.
Menurut Agustinus, masyarakat tidak bersedia bernegosiasi dan berkompromi dalam bentuk apapun. “Pada prinsipnya warga tetap menolak tanpa kompromi,” ujarnya.
Warga tidak akan memberi ruang untuk berdiskusi, karena sejak awal, proyek ekstraksi panas bumi tersebut telah merusak dan melecehkan warga adat Poco Leok dalam banyak aspek.
Selain itu, ada beberapa temuan mengenai tak memadainya upaya pemenuhan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang dilakukan oleh PT PLN sebagai pelaksana proyek. Atas temuan itu, para konsultan PLN memaparkan rekomendasi utama, salah satunya adalah mengulangi proses FPIC dan membangun kembali kepercayaan masyarakat.
Hanya saja, masyarakat Poco Leok memastikan bahwa yang diinginkan bukan perbaikan proses FPIC, melainkan penghentian rencana pelaksanaan proyek ekstraksi panas bumi yang akan menjarah ruang hidup mereka.
Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat Kasman, menilai rekomendasi perbaikan FPIC yang diusullkan Monkey Forest Consulting (MFC) merupakan jalan sesat karena masyarakat memiliki posisi yang sangat tegas dan jelas menolak kehadiran proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 di Poco Leok yang dikerjakan oleh PT PLN.
“Forum ini tidak boleh diklaim secara sepihak oleh siapapun sebagai salah satu pemenuhan FPIC. Karena sampai hari ini, posisi warga sangat teguh menolak proyek panas bumi tersebut. Warga tidak memberikan persetujuan dalam bentuk apapun,” kata Alfarhat.
Sarat Kekerasan
Sejak 2022, komunitas masyarakat di 10 gondang di Poco Leok terus menghadang PT PLN yang berupaya menjalankan proyek ekstraksi panas bumi. Sedikitnya ada 26 kali aksi perlawanan warga dilakukan dan nyaris berhadapan dengan aparat keamanan.
Terakhir, 2 Oktober 2024, aksi perlawanan warga Poco Leok berujung pada penangkapan sewenang-wenang terhadap 3 warga dan seorang jurnalis.
Saat itu, PLN melakukan upaya paksa untuk melakukan pengukuran lahan warga serta mengidentifikasi lokasi Access Road Wellpad D, Wellpad I dan Access Road Wellpad I dengan mengerahkan aparat keamanan gabungan, yang terdiri dari Kepolisian, TNI, dan Satpol PP.
Penggunaan kekuatan aparat keamanan yang berlebihan itu diikuti intimidasi terhadap warga, hingga terjadi penyerangan yang menyebabkan puluhan orang luka-luka, yang sebagian di antaranya tidak sadarkan diri.
Sementara itu, KfW dalam proyek ini memberikan pembiayaan sebesar 150 juta EUR untuk biaya pengembangan Unit V PLTP Ulumbu, dan Unit 2 dan 3 PLTP Mataloko melalui perjanjian utang langsung tanpa jaminan antara Pemerintah Jerman dengan PT PLN.
Pendanaan dari KfW diteken pada Oktober 2018 lalu. Pada 3 September 2024 lalu, dua anggota tim independen bentukan Bank KfW mengunjungi Poco Leok dan beraudiensi dengan warga.
Setelah itu, PLN melanjutkan pengerjaan operasi panas bumi tersebut – yang notabene mengabaikan penolakan warga yang masih terus berlangsung – yang berujung pada kriminalisasi seorang jurnalis dan tiga warga lainnya.
Penolakan warga bukan tanpa alasan. Belajar dari proyek ekstraksi panas bumi di Mataloko, serta di berbagai lokasi membuat warga kian teguh untuk menolak proyek tersebut. Di Mataloko, operasi panas bumi terbukti menyengsarakan rakyat berakibat pada hilangnya mata pencaharian akibat ladang-ladang warga yang rusak terkena semburan panas.
Di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara juga serupa. Setidaknya 5 warga tewas akibat kebocoran gas H2S yang mematikan.
Sementara itu, hasil uji kualitas air dan udara yang dilakukan JATAM pada April 2024 di wellpad Ulumbu menunjukkan adanya penurunan kualitas air sungai akibat pencemaran. Selain itu, terdapat kandungan H2S di tiga titik wellpad Ulumbu, yaitu di kawah Ulumbu dengan kadar 0,1 ppm, di sekitar area Power Plant Ulumbu dengan kadar 0,8 ppm, dan di Tantong Atas dengan kadar 0,3 ppm.
“Sementara PLN merevisi FPIC, warga Ulumbu menghirup udara beracun tiap hari dan meminum air yang tercemar,” papar Alfarhat Kasman.
Hal itu, kata Alfarhat, menjadi alasan bagi masyarakat adat Poco Leok untuk tetap meneguhkan sikap menolak proyek geothermal.