Qnews.co.id, JAKARTA – Eathink, platform dari Foodsustainesia merilis panduan bernama SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar) untuk membantu generasi milenial memilih produk makanan terbaik dan menanamkan kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan pangan.
Dalam rangka menyambut Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober, Eathink menggagas panduan pola makan sehat melengkapi rekomendasi diet dari Kemenkes dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
CEO dan Co-founder Eathink Jaqualine Wijaya menjelaskan adanya celah dari rekomendasi yang telah dikeluarkan sebelumnya. Misalnya, panduan Isi Piringku dari Kemenkes hanya membahas aspek kesehatan semata.
“Padahal rekomendasi diet perlu mencakup sejumlah aspek, termasuk keberlanjutan. SELARAS melengkapi rekomendasi diet dari Kemenkes dengan mempertimbangkan lingkungan,” ujar Jaqualine dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/10).
Secara umum rekomendasi diet dari luar negeri bersifat global. Untuk itu, Eathink mencoba membuat rekomendasi dalam konteks lokal sehingga lebih relevan dengan masyarakat Indonesia.
Senada, dosen sport nutrition di Fakultas Bioteknologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dionysius Subali berpendapat, SELARAS merupakan panduan yang unik serupa paket lengkap.
“Tidak hanya mendorong agar mengonsumsi makanan yang sehat, namun juga memastikan prinsip keberlanjutan pangan,” katanya.
Hal itu tidak saja berkaitan dengan upaya kesehatan di masa sekarang, namun juga sehat di masa depan. Caranya dengan memikirkan aspek lingkungan, diharapkan pola makanan sehat akan terus tersedia bagi generasi selanjutnya.
Gizi seimbang
Untuk aspek seimbang, Eathink mengacu pada prinsip Isi Piringku. Dalam satu piring, setengahnya harus diisi sayur dan buah, sementara setengahnya lagi diisi sumber protein, karbohidrat, dan lemak.
Hanya saja, kata Jaqualine, dalam konsep SELARAS, aspek seimbang dibuat lebih fleksibel. Karena yang terpenting, bagaimana memenuhi kebutuhan gizi dalam satu hari dan bagaimana bisa secara konsisten menerapkannya dalam jangka panjang
“Sering kali banyak orang ragu untuk menerapkan makan sehat, karena berpikir kandungan gizi di setiap makanan harus langsung lengkap. Tidak begitu, kok. Kita jangan lihat dari satu piring atau sekali makan saja. Yang terpenting kita konsisten menerapkannya dalam jangka panjang,” papar Jaqualine.
Ia contohkan, jika pada siang hari sudah menyantap nasi padang, maka snack sore sebaiknya bukan yang bersifat gorengan. Meskipun dalam sebungkus nasi padang sudah ada sayuran, jumlahnya masih kurang. Karena itu, Jaqualine menyarankan untuk ngemil buah saja.
Dengan prinsip itu, sesekali menikmati junk food atau makanan kategori Ultra Processed Food (UPF), tidak masalah. Hanya saja, kuncinya adalah sesekali.
Dengan prinsip seimbang, bisa tetap mengonsumsi pola makan sehat yakni makanan apa pun yang diinginkan, tanpa harus pantang makanan sesuatu. “Harus diingat, junk food dan Ultra Processed Food berdampak buruk bagi kesehatan ketika dikonsumsi secara berlebihan. Boleh dikonsumsi, tapi dibatasi, misalnya sebulan sekali,” terang Jaqualine.
Senada, Dion menyarankan untuk mengenali kebutuhan gizi diri sendiri berdasarkan aktivitas fisik harian. Pasalnya, aktivitas tersebut sangat berpengaruh terhadap keseimbangan pola makan.
“Orang yang lebih banyak bekerja di kantor lebih baik mengonsumsi banyak buah dan sayur, bukan karbohidrat,” jelasnya.
Pasalnya, kebutuhan karbohidratnya tidak banyak. Kebutuhan gizi seperti itu menjadi seimbang bagi mereka yang pekerja kantoran. Sementara seimbang bagi mereka yang beraktivitas berat, akan berbeda lagi.
“Bisa jadi, seimbang pada orang tersebut berarti banyak mengonsumsi karbohidrat,” katanya
Bersifat Lokal
Menurut Dion, masyarakat perlu memahami pentingnya mengonsumsi pola makan sehat yang merupakan produk lokal. Banyak orang belum berpikir sampai ke arah sana, bahwa memilih pangan lokal bisa membuat sumber pangan tersebut sustain dalam jangka panjang.
“Bahwa memilih produk impor sangat mungkin memperparah dampak pemanasan global dan menciptakan jejak karbon. Jangan sampai kitanya sehat, tapi alamnya tidak sehat,” ujar Dion.
Sementara itu Jaqualine menuturkan, bahan makanan di negara tropis, seperti Indonesia, jauh lebih bernutrisi ketimbang di negara bukan tropis. Sayangnya, kita justru sering membaca rekomendasi diet ala negara barat.
“Maka referensi kita jadi mengarah pada bahan makanan impor, seperti kiwi dan salmon,” katanya.
Jaqualine menambahkan, “Kita bisa, kok, temukan banyak makanan lokal yang nilai gizinya setara dengan produk impor. Misalnya, kandungan omega-3 dalam ikan kembung bahkan lebih tinggi dari salmon.”
Hanya saja, karena bersifat lokal dan dianggap murah, maka sering kali tidak dipandang layak. Padahal, Indonesia punya hidden gem.
“Sebutlah ubi ungu yang tinggi antioksidan. Juga sorgum yang padat gizi,” terang Jaqualine.
Jaqualine memastikan banyak opsi pangan lokal yang tersedia di sekitar kita. Harganya yang murah, nutrisinya baik, dan tentunya sangat mudah diakses.
Di setiap daerah pasti ada bahan makanan lokal, yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, sebagai pola makan sehat. Karena itu kita tidak harus bergantung pada pangan impor.
“Papua punya sagu. Orang yang tinggal di pesisir punya kemewahan makan ikan setiap hari,” ujarnya.
Tempe yang dikenal sebabagi produksi asal Indonesia pun memiliki kandungan gizi setara daging sapi. Protein nabati pada umumnya tidak memiliki kandungan vitamin B12, yang umumnya terdapat pada daging.
Menariknya, kata Jaqualine, ketika kedelai difermentasi dalam proses pembuatan tempe, vitamin B12 itu pun terbentuk pada tempe untuk mendukung pola makan sehat.
“Itulah mengapa tempe disebut-sebut bisa menggantikan daging, dan harganya jauh lebih murah,” paparnya.