Selamat Jalan Nur Hidayati, Perempuan Pejuang Lingkungan yang Tak Mengenal Lelah

Keluarga Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kehilangan seorang teman, sahabat, pejuang lingkungan, Pembela HAM, Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2016-2021, Nur Hidayati atau dikenal sebagai mbak Yaya. Foto: Walhir

Qnews.co.id, JAKARTANur Hidayati, aktivis lingkungan yang pernah memimpin Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk periode 2016-2021 ahirnya berpulang pada Selasa (5/11) siang. Nur Hidayati wafat pada usia 51 tahun.

Informasi tentang kepergian Yaya, panggilan akrab Nur Hidayati, dikabarkan dalam akun @walhinasional pada 5 November 2024.

Bacaan Lainnya

Hari ini, kami kehilangan seorang teman, sahabat, seorang pembela HAM dan pejuang lingkungan yang konsisten sepanjang hidupnya. Nur Hidayati atau yang akrab kami panggil mbak Yaya, Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2016-2021,” tulis @walhinasional di media sosial X, Selasa (5/11).

Rest in Power mbak Yaya!

Selain dikenal sebagai mantan Direktur Walhi, Nur Hidayati juga cukup aktif di organisasi lingkungan lain, Greenpeace Indonesia. Disana ia didapuk menjadi Kepala (Country Director) pada periode 2009-2012.

Bagi pejuang lingkungan yang aktif merangkul perempuan agar melawan ketidakadilan ekologis, arti lingkungan hidup yang sehat memang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Kesadaran tentang lingkungan hidup mulai terbentuk di diri perempuan kelahiran Surabaya, 14 Agustus 1973 itu ketika mendalami Teknik Lingkungan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di tempat almamaternya itu, Yaya sempat menjadi asisten dosen sebelum akhirnya bergabung di Walhi.

Ketertarikannya terhadap isu lingkungan semakin kuat, saat ia dipercaya sebagai project officer untuk isu pencemaran lingkungan di Walhi. Dari sana kemudian Yaya menapaki kariernya di bidang lingkungan hidup.

Sejumlah topik kerusakan lingkungan sempat ia tangani, di antaranya pencemaran PT Freeport Indonesia dan PT Toba Pulp Lestari yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama (Indorayon).

Keterlibatan Yaya dalam isu lingkungan hidup juga diketahui lewat kerja-kerja advokasi, baik di tingkat nasional, ASEAN, dan global.

Saat bergaung di Greenpeace, Yaya dipercaya sebagai pengkampanye perubahan iklim dan energi di Greenpeace Asia Tenggara (2006-2008). Yaya juga menjabat Koordinator Nasional Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) pada 2008-2009, lalu sebagai Ketua Badan Perkumpulan Sawit Watch pada 2010-2012. 

Selama bekerja, Yaya aktif menangani sejumlah kasus yang melibatkan masyarakat terkait lingkungan hidup, melakukan kerja-kerja pengorganisasian, serta menganalisis dan melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah, parlemen, termasuk pada institusi nasional maupun internasional. 

Salah satu yang cukup disorot publik adalah upayanya menentang proyek reklamasi dan pembangunan infrastruktur. Yaya bersuara keras, karena pemerintah lebih cenderung berpihak kepada investor ketimbang masyarakat yang menjadi korban. Menurut Yaya, tidak ada alasan logis di balik proyek tersebut yang mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan. 

Begitu pun ia kerap mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam melestarikan lingkungan hidup. Saat diwawancara Mongabay pada 2016, Yaya mengungkapkan kebijakan pemerintah justru kontradiktif dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Kebijakan yang dibuat justru menghancurkan sumber-sumber pangan dan wilayah-wilayah produktif masyarakat.

Ia menyebut sejumlah kawasan yang mendukung ruang hidup masyarakat menjadi rusak. Semisal kawasan karst yang merupakan sumber air bagi warga. Kemudian tercemarnya laut yang merupakan sumber mata pencarian nelayan, hingga kerusakan lahan yang mengakibatkan masyarakat tidak bisa bercocok tanam. 

Contoh konkret dari perlawanan Yaya adalah meminta pemerintah segera berhenti mengeksploitasi sumber daya alam atas dalih keuntungan ekonomi, sebagaimana dilegitimisi oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Yaya dan WALHI mengkritik pemerintah secara keras, karena telah merebut tanah-tanah masyarakat demi investasi serta menjanjikan solusi palsu melalui Omnibus Law. Padahal, aturan tersebut justru merusak sumber penghidupan masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan. 

Atas perjuangannya membela lingkungan, Yaya dipercaya sebagai Konsultan Program Indonesia Initiative Climate and Land Use Alliance (CLUA) yaitu aliansi yang bertujuan memanfaatkan lahan dan hutan secara berkelanjutan untuk mengatasi perubahan iklim, melindungi lingkungan, dan menyejahterakan masyarakat.

Kini, berpulangnya Yaya telah menyisakan duka mendalam bagi pegiat lingkungan. Kepergian Yaya meninggalkan duka besar, dan Indonesia telah kehilangan seorang pejuang lingkungan yang gigih. Dan lebih dari 25 tahun masa hidupnya, Yaya telah berjuang sebagai aktivis lingkungan dan pembela hak asasi manusia.

Yaya akhirnya berpulang setelah berjuang melawan kanker yang dideritanya. Ia dikabarkan sempat mendapatkan perawatan dan dilanjutkan dengan operasi, hingga maut akhirnya menjemput usai tindakan operasi tersebut.

Selamat jalan Yaya. 



Pos terkait

Tinggalkan Balasan