Qnews.co.id, JAKARTA – 30 September 2024 menjadi hari kelabu bagi para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Bagaimana tidak, RUU PPRT yang seharusnya dimasukkan dalam agenda rapat penutupan DPR RI berujung batal.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga atau Jala PRT Lita Anggraini menyebut alasan tersebut karena RUU PPRT tidak dimasukkan dalam agenda Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025 Keanggotaan DPR RI 2019-2024.
Padahal sebelumnya, sudah ada Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perlindungan PRT di meja pimpinan sejak Mei 2023 lalu.
“Kemarin, RUU PPRT diselamatkan oleh surat dari Ketua Baleg DPR RI, kepada Ketua DPR yang menjadi Ketua Sidang Rapat Paripurna tanggal 30 September 2024,” kata Lita Anggraini dalam keterangannya, Selasa (1/10).
Surat Baleg tersebut meminta agar RUU PPRT menjadi RUU dilimpahkan (carry over), yang telah dikirimkan Ketua Baleg, sehari sebelum Rapat Paripurna. Ketua DPR akhirnya membacakan surat tersebut dan disetujui oleh peserta sidang.
“Koalisi Sipil sangat mengapresiasi inisiatif Ketua Baleg Bapak Wihadi Wiyanto dari Gerindra atas inisiatif penyelamatan RUU PPRT tersebut,” terangnya.
Senada, Direktur Eksekutif ASPPUK Emmy Astuti mengungkapkan upaya penyelamatan RUU PPRT oleh Fraksi Partai Gerindra itu, diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra Sufmi Dasco yang menyebut RUU PPRT bersama RUU Penyitaan Aset dan RUU Hukum Adat menjadi RUU yang dilimpahkan ke DPR baru.
“Para PRT sangat berterima kasih kepada Bapak Dasco yang berinisiatif menyelenggarakan Focus Group Discussion/ FGD pada tanggal 3 dan 19 September 2024 sehingga mengembalikan RUU PPRT ke meja agenda diskusi di DPR setelah selama hampir dua tahun didiamkan Ketua DPR, RI” kata Emmy.
Sebanyak 60 orang anggota Koalisi Sipil dan PRT hadir di Gedung Nusantara 2 dalam Sidang Paripurna DPR RI, Senin (30/9), namun hanya 8 orang yang berhasil masuk di balkon ruang sidang.
“Kami digeledah 5 kali. Ini keterlaluan. Sementara kawan-kawan terganjal di pintu masuk meskipun kami sudah menulis surat ke Biro Persidangan maupun kesekjenan. Demi marwah yang bagaimana? Ini arogansi dewan, padahal dulu ramah dan akomodatif ke rakyat,” keluh Endang Yuliastuti dari Institut Sarinah.
Sepanjang 20 tahun pengalaman beradvokasi RUU PPRT di DPR, baru lima tahun ini para PRT merasakan aturan yang super ketat dan menjauhkan akses PRT untuk berpartisipasi di DPR meskipun sebatas pemantau.
Salah seorang PRT dari SPRT Sapulidi Ajeng Astuti menilai tata kelola DPR harusnya merakyat, tidak berjarak dengan rakyat yang diwakilinya. Marwah DPR harusnya ramah, fleksibel dan melayani.
“Bu Puan berjanji untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Kami meminta dibuktikan segera, yaitu komitmen politik yang memihak RUU PPRT yang merupakan bentuk perlindungan negara kepada para permepuan miskin kepala keluarga, yaitu PRT,” kata Ajeng.
Kini yang tersisa hanyalah harapan kepada pimpinan dan para anggota DPR yang baru agar mereka bergaya merakyat dan pro kerakyatan. Tanggap pada aspirasi rakyat kecil dan bersikap negarawan.
Pengalaman di Rapat Paripurna DPR, kata Aprillia dari LBH Apik Jakarta, begitu mengecewakan para PRT. Perjuangan keras dan lama dimentahkan kembali oleh Ketua DPR dan mendapat perlakuan tidak ramah dari pamdal.
Perasaan sakit dan nelangsa menjadikan mereka menangis bersama di DPR. Bahkan malamnya, Direktur Isntitut Sarinah Endang Yuliastuti mengeluh sakit perut akibat jengkel, judeg, jengah dan stress.
“Para PRT tentu juga mengalami sakit yang lebih menyakitkan,” kata Aprillia.
Dia menambahkan, “Kami dikalahkan karena kelas kami, meski jumlah kami jutaan tetapi keluasan DPR kan dari kami, rakyat miskin. Mengapa tidak amanah?”