Waspada Siklus Banjir 5 Tahunan, Mitos Atau Ancaman Nyata

Qnews.co.idSiklus banjir lima tahunan kerap menjadi ancaman nyata, meski banyak juga warga di Ibu Kota yang menganggapnya hanya sebagai mitos belaka.

Namun faktanya setiap lima tahun sekali, Jakarta selalu direndam oleh banjir dengan berbagai kapasitas ketinggian debit air, mulai dari satu hingga mencapai 3 meter.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan catatan yang ada, banjir lima tahun sekali terjadi pada tahun 1996 yang mana saat itu sekitar 5,000 hektar lahan di Jakarta harus tergenang air yang membuat beberapa wilayah di Ibu Kota sempat lumpuh.

Jakarta kembali dilanda banjir pada tahun 2002. Namun, pada tahun itu air yang menggenangi Ibu Kota tidak separah tahun sebelumnya.

Akan tetapi banjir yang datang melanda Jakarta pada tahun 2007 cukup membuat negara harus mengalami kerugian yang cukup besar.

Pasalnya, sekitar 70 persen wilayah di Ibu Kota terendam banjir dengan ketinggian mencapai empat meter.

Tercatat, negara harus mengalami kerugian dari kerusakan infrastruktur akibat banjir tersebut sekitar Rp 5.2 triliun dan sebanyak 190.000 warga Jakarta jatuh sakit.

Selanjutnya, bencana banjir kembali datang ke Ibu Kota pada bulan Desember 2012 dan baru mencapai puncaknya pada pertengahan Januari 2013. Kala itu Jakarta dinyatakan dalam keadaan darurat.

Akan tetapi belum pas 5 tahun, Jakarta harus kembali berurusan dengan banjir pada tahun 2015, tepatnya pada tanggal 9 Februari akibat curah hujan tinggi.

Setalah berjalannya waktu, sebagian masyarakat Jakarta kembali dikagetkan dengan kedatangan air yang cukup mengejutkan pada waktu dini hari.

Bahkan bukan hanya Ibu Kota, genangan air juga hadir di beberapa daerah lainnya seperti Depok, Tangerang dan Bekasi.

Curah hujan yang tinggi melanda Jakarta pada tanggal 31 Desember 2019 sore hingga pergantian malam Tahun Baru serta adanya kiriman air dari wilayah Bogor membuat Ibu Kota harus kembali lumpuh sementara waktu hingga awal Januari 2020.

Kala itu banyak warga yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi. Bahkan, sejumlah jalan protokol seperti Jalan Sudirman, Bunderan Hotel Indonesia, Thamrin dan hampir sejumlah ruas jalan Ibu Kota tergenang air.

Tak hanya itu saja, kantor-kantor pemerintahan seperti istana negara dan Balai Kota yang merupakan kantor Gubernur DKI Jakarta juga tak luput dari genangan air.

Setelah berlalunya siklus banjir lima tahunan pada 2020 silam, sempat muncul sejumlah prediksi yang mengatakan sebagian wilayah Jakarta akan tenggelam pada tahun 2023 akibat adanya sejumlah proyek reklamasi.

Beruntung prediksi tersebut ternyata meleset dan Jakarta selamat dari kekhawatiran terjadinya banjir berkapasitas tinggi. Dan jika melihat jarak waktunya dari tahun 2020 ke 2023 baru berselang 3 tahun. Tentu jauh dari kata tepat dengan sejumlah fenomena yang pernah terjadi melanda Ibu Kota.

Akan tetapi jika melihat tanda-tanda yang ada saat ini, fenomena siklus banjir lima tahunan sepertinya bisa kembali terjadi pada tahun 2025.

Selain jarak waktu yang terbilang pas setiap lima tahun sekali, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memprediksikan, sebagian wilayah di Indonesia terutama Jakarta akan menghadapi puncak musim hujan yang dimulai pada tanggal 28 Januari hingga memasuki awal Februari 2025.

Dalam prediksinya, BMKG membeberkan untuk sementara waktu wilayah Jakarta harus bersahabat dengan cuaca ekstrim, dimana Ibu Kota akan diguyur hujan berkapasitas lebat hingga ringan sepanjang waktu selama periode yang ditentukan.

Menurut BMKG, hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kelembaban udara akibat penguatan Monsun Asia yang membawa massa udara lembab dalam jumlah besar.

Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya fenomena Seruakan Dingin (Cold Surge) yang teridentifikasi berada pada kategori signifikan selama tiga hari terakhir.

Selain itu, fenomena atmosfer lainnya seperti La Niña, Madden Julian Oscillation (MJO), dan Gelombang Atmosfer juga turut memperkuat terjadinya cuaca ekstrem yang akan menghantui warga Ibu Kota.

Meski hanya berada dalam fase lemah, fenomena La Niña juga turut berkontribusi meningkatkan curah hujan, terutama di wilayah tropis.

Apalagi fenomena MJO yang kini aktif di barat Indonesia, bersama gelombang atmosfer ekuator lainnya seperti Gelombang Rossby Ekuator dan Gelombang Kelvin, mendukung pembentukan awan konvektif yang berpotensi memicu hujan lebat.

Kemudian, Pola sirkulasi siklonik yang terdeteksi di beberapa lokasi, seperti Selat Karimata, Laut Halmahera, Laut Arafuru, hingga Samudra Hindia Selatan Jawa, juga memperbesar peluang curah hujan tinggi yang terjadi di wilayah Jakarta.

Kombinasi fenomena atmosfer tersebut tentunya dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan