Qnews.co.id, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai deflasi atau fenomena penurunan harga di sejumlah wilayah yang terjadi dalam lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal yang buruk bagi perekonomian.
Hal itu, ungkap Menkeu, disebabkan oleh komponen harga bergejolak (volatile food) yang berkaitan dengan komoditas pangan. Ketika deflasi pangan terjadi, biasanya harga bahan makanan di pasar dalam kondisi stabil atau bahkan menurun.
“Menurut saya, ini perkembangan positif, terutama terhadap daya beli masyarakat,” ujar Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (4/10).
Menkeu menuturkan, belanja masyarakat, utamanya kelompok menengah bawah memang didominasi oleh belanja makanan. Artinya, harga pangan yang menurun di pasaran justru baik, karena bisa membantu masyarakat untuk membeli bahan-bahan makanan yang diperlukan dengan harga lebih murah.
Dengan demikian, deflasi yang terjadi akibat penurunan harga pangan, merupakan hal yang diharapkan. Karena hal itu bisa menciptakan level harga makanan yang stabil bahkan cenderung rendah.
“Itu baik untuk konsumen, terutama menengah bawah yang mayoritas belanjanya untuk makanan,” tegas Sri Mulyani.
Sementara itu, inflasi inti juga masih bertahan di atas 2 persen. Angkanya sebesar 2,09 persen (year-on-year/yoy) pada September 2024.
Menurut menkeu, prosentasenya sedikit meningkat ketimbang Agustus yang sebesar 2,02 persen. “Catatan ini mengindikasikan permintaan masih cukup tinggi,” ujarnya.
Berkaca dari indikator itu, Sri Mulyani optimistis kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah telah mengarah pada sasaran yang tepat.
Di sisi lain, peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah menyalurkan bantuan sosial (bansos) untuk menopang perekonomian masyarakat. Bansos dalam bentuk pemberian beras, telur, maupun daging ayam telah disalurkan kepada kelompok miskin dan rentan.
“Kami menyikapinya sebagai hal positif terutama dari sisi fiskal. Kita menggunakan APBN itu untuk menstabilkan harga,” terang Sri Mulyani.
Laporan BPS terakhir mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen (month-to-month/mtm) pada September 2024. Tren deflasi telah berlangsung sejak Mei 2024.
Rinciannya, deflasi 0,03 persen pada Mei 2024, 0,08 persen pada Juni 2024, 0,18 persen pada Juli 2024, dan 0,03 persen pada Agustus 2024.
Sementara itu, inflasi tahunan tercatat sebesar 1,84 persen (year-on-year/yoy) dan inflasi tahun kalender 0,74 persen (year-to-date/ytd).
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan angka deflasi biasanya mengacu pada Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK sendiri dipengaruhi oleh faktor biaya produksi hingga kondisi suplai.
Karena itu, BPS sengaja tidak mengaitkan data deflasi tersebut dengan dugaan penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, untuk mengambil kesimpulan apakah ini ada kaitannya dengan indikasi daya beli masyarakat yang menurun, diperlukan studi lebih lanjut.
“Daya beli masyarakat tidak bisa hanya dimonitor dari angka inflasi atau deflasi,” papar Menkeu.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan perekonomian nasional secara keseluruhan tetap bergerak gradual. Semua berjalan normal meskipun ada tren deflasi dalam lima bulan terakhir.
Airlangga merujuk pada sejumlah indikator ekonomi yang mencatatkan peningkatan. Di antaranya mengacu pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan cadangan devisa. Bahkan Rupiah berhasil ditekan kembali ke level di bawah Rp16 ribu.
Indikator-indikator itu, kata Airlangga menunjukkan perekonomian nasional masih bergerak ke arah yang baik.