Qnews.co.id, JAKARTA – Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyayangkan tidak adanya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya terkait dana pendidikan yang saat ini digodok oleh Panja Pembiayaan Pendidikan.
Kehadiran Mendikbudristek Nadiem Makarim dan jajarannya di gedung DPR, pada Rabu (11/9), menurut Ubaid, memperlihatkan alokasi anggaran pendidikan 20% dan peruntukannya, dijalankan dengan cara serampangan.
Ubaid menyatakan, “Mestinya tidak ada lagi cerita jutaan anak Indonesia tidak bisa sekolah. Begitu pula, seharusnya tidak perlu ada keributan demonstrasi mahasiswa menyoal UKT mahal.”
Hal itu terjadi, karena anggaran pendidikan telah diselewengkan untuk mendanai perkara yang tidak jelas, bukan perioritas, dan bahkan dilarang oleh konstitusi dan UU Sisdiknas.
“Hal ini setidaknya tercermin jelas dari dua masalah utama yang mengemuka saat raker kemarin dan juga beberapa diskusi yang digelar Panja Pembiayaan Pendidikan, Komisi X DPR RI,” katanya.
Pertama, pelanggaran UU Sisdiknas. UU No.20 tahun 2003 secara tegas mengatur soal pembiayaan pendidikan kedinasan, yang mestinya di luar jatah 20%. Pada praktiknya, pembiayaan pendidikan kedinasan selalu dimasukkan ke dalam hitungan 20% dana pendidikan.
“Ini jelas dilarang dalam pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas. Pada pasal ini, dibeberkan dengan cukup jelas, komponen mana saja yang boleh dan tidak boleh dibiayai oleh dana pendidikan,” katanya.
“Nah masalahnya mengapa anggaran pendidikan kedinasan, yang jelas-jelas dilarang, kok malah selalu dimasukkan dalam hitungan 20%?” tanya Ubaid.
Sejauh ini, setidaknya ada 24 kementerian dan lembaga yang menikmati dana pendidikan. “Jelas ini pelanggaran pengelokasian dana pendidikan yang sengaja digunakan untuk pendanaan komponen yang dilarang oleh undang-undang,” kata Ubaid.
Kedua, pelanggaran atas UUD 1945, pasal 31 ayat 4. Anggaran pendidikan hingga kini belum pernah mencapai angka yang digariskan konstitusi, yaitu minimal 20%.
“Kok bisa kurang 20%? Jadi hingga tahun 2024, diduga kuat, anggaran pendidikan kita dipaksakan mencapai klaim 20%. Apa yang ditulis 20% itu hanya ilusi saja,” ujarnya.
Jika dibedah, papar Ubaid, ternyata banyak komponen yang mestinya tidak boleh masuk, malah dimasukkan dalam hitungan 20%.
Contoh sederhana, jatah anggaran pendidikan kedinasan jelas-jelas menggunakan dana pendidikan. Semestinya komponen itu tidak masuk. Jika item tersebut dikeluarkan dari anggaran 20%, berarti persentasenya pasti berkurang.
“Karut marut anggaran pendidikan ini menunjukkan, bahwa selama ini pengalokasian APBN itu ya dibagi-bagi begitu saja, tanpa ada proses pemisahan 20% terlebih dahulu untuk dana pendidikan,” papar Ubaid.
Seharusnya, kata Ubaid, dana khusus pendidikan dipisah terlebih dahulu. Baru kemudian dipikirkan dan dierencanakan kebutuhan prioritas pendidikan itu apa saja.
Setelah itu dihitung komposisinya berdasarkan amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas. “Jika dirasa kurang, bisa juga menambah lebih dari 20%,” terang Ubaid.
Jika pemerintah tidak mampu melaksanakan perintah Pasal 31 UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas, DPR sangat mungkin menggunakan alasan tersebut sebagai landasan pemakzulan presiden.