Qnews, JAKARTA – Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat (6/9) pagi menanjak 12 poin atau 0,08 persen menjadi Rp15.389 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp15.401 per dolar AS.
Pergerakan pasar global masih sangat volatile dan menunjukkan bahwa pasar komoditas masih bergerak untuk memperkuat konsolidasi untuk mematahkan garis resistance untuk menuju All Time High.
Untuk harga emas, Goldman Sachs memprediksi bahwa emas akan tetap menjadi lindung nilai kuat (strong hedging) terhadap inflasi dan risiko geopolitik. Mereka memproyeksikan kenaikan harga emas sebesar 16 persen, mencapai $2.700 atau sekitar Rp 41 juta per troy ons pada akhir 2024.
“Prediksi ini didorong oleh tekanan inflasi yang berkelanjutan dan meningkatnya ketegangan geopolitik, yang biasanya mendorong investor untuk mencari aset safe-haven seperti emas. Harga GLD cenderung menguat dan bergerak di garis konsolidasi untuk mendobrak Garis resistance di 233.45 untuk menuju All Time High,” kata Regen Lee, Head Trader Quotient Fund, Jumat (6/9).
Sementara untuk perdagangan perak, potensi penurunan harga perak dalam jangka pendek menyarankan agar investor memanfaatkan peluang tersebut dengan membeli secara agresif. Penurunan suku bunga oleh Federal Reserve, inflasi yang tinggi, dan meningkatnya utang AS menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi logam mulia seperti perak.
“Meskipun harga perak saat ini cukup tinggi, koreksi harga di masa depan dapat memberikan peluang pembelian yang kuat. Perak dan saham tambang diperkirakan akan tetap menjadi investasi menarik di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. SLV yang hari ini menguat tinggi menunjukan bahwa SLV masih dalam trend upward dan berpotensi untuk mendobrak All Time High,” ujarnya.
Menurut Regen, berita terbaru mengenai United States Oil Fund (USO) menunjukkan fluktuasi kinerja yang dipengaruhi oleh dinamika pasar minyak global.
Pada awal September 2024, saham USO mengalami penurunan sebesar 2,08 persen dengan harga penutupan di $69,61 atau kisaran Rp 1,073873 juta. Hal ini merupakan bagian dari tren yang lebih luas, dengan rentang harga selama setahun terakhir antara $63,84 kisaran Rp 9.89000 ribu.
Regen menjelaskan, penurunan harga minyak ini sebagian besar disebabkan oleh kekhawatiran terkait permintaan, terutama dari Tiongkok, di mana perlambatan ekonomi telah mempengaruhi konsumsi minyak global.
Selain itu, diskusi dalam OPEC+ tentang penundaan kenaikan produksi telah menambah ketidakpastian dalam perkiraan pasar. Analis menyebutkan bahwa saat ini pasokan melebihi permintaan, yang menyebabkan pandangan bearish terhadap harga minyak meskipun ada volatilitas jangka pendek.
“Meskipun tantangan ini, USO masih mencatat kenaikan 4,44 persen sejak awal tahun. Namun, para pengamat pasar mencatat bahwa tindakan tegas dari OPEC+ mungkin diperlukan untuk menstabilkan atau membalikkan tren penurunan harga minyak saat ini,” imbuhnya.