Qnews.co.id, JAKARTA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8 persen hingga 10 persen pada 2025.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, besaran kenaikan itu karena inflasi dalam dua tahun terakhir berada pada kisaran 2,5 persen. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen. Jika digabungkan, totalnya sekitar 7,7 persen yang dibulatkan menjadi 8 persen sampai 10 persen.
“Kenaikan upah minimum yang diusulkan adalah sebesar 8 persen. Namun, KSPI mengusulkan penambahan 2 persen sehingga kenaikannya menjadi 10 peesen,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Sabtu (28/8/2024)
“Untuk daerah-daerah yang memiliki disparitas upah tinggi antara kabupaten/kota yang berdekatan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan upah di wilayah-wilayah tersebut,” sambungnya.
Menurut Iqbal, selama lima tahun terakhir, terutama pada tahun pertama, upah minimum tidak mengalami kenaikan di seluruh Indonesia, yang berdampak pada penurunan daya beli buruh. Dalam dua tahun terakhir, kenaikan upah minimum berada di bawah angka inflasi.
“Sebagai contoh di wilayah Jabodetabek, inflasi mencapai 2,8 persen, namun kenaikan upah hanya 1,58 persen. Ini artinya buruh nombok setiap bulan. Dalam beberapa tahun ini, kenaikan upah yang terjadi tidak menutup inflasi, sehingga daya beli buruh terus menurun,” terangnya.
Meskipun secara nominal upah mengalami kenaikan setiap tahun, Iqbal menyebut kenyataannya upah riil buruh terus menurun. Dalam sepuluh tahun terakhir, Said menyebut bahwa upah riil buruh turun sekitar 30 persen. Upah riil adalah upah nominal yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen.
“Kenaikan harga barang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah nominal, sehingga buruh terus terbebani dan daya beli mereka merosot tajam,” ujarnya.
Said menjelaskan, dalam meminta kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 persen hingga 10 persen, KSPI dan Partai Buruh tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023. Sejak awal, PP 51/2023 ditolak oleh seluruh serikat buruh, termasuk KSPI dan Partai Buruh.
Dasar hukum dari PP Nomor 51 tersebut adalah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini sedang digugat melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi!oleh KSPI, Pekerja Serikat Seluruh Indonesia Andi Gani (KSPSI AGN), dan Partai Buruh.
Sampai saat ini, belum ada keputusan dari MK sehingga pemerintah seharusnya tidak menggunakan PP Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum tahun 2025.
Di sisi lain, imbuh Iqbal, kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 persen hingga 10 persen tersebut hanya akan meningkatkan daya beli buruh sekitar 5 persen. Padahal, dalam 10 tahun terakhir, daya beli buruh turun sebesar 30 persen.
Dengan demikian, meskipun upah minimum tahun 2025 naik sebesar 8 peesen hingga 10 persen, daya beli buruh tetap akan turun sekitar 25 persen.
“Buruh masih akan merasakan beban karena kenaikan upah tersebut telah termakan oleh kenaikan indeks harga konsumen,” tutupnya.