Qnews.co.id, JAKARTA – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019 yang diinisiasi oleh pemerintahan Jokowi dengan dukungan DPR RI mengakibatkan korupsi di sejumlah kementerian dan DPR.
Revisi UU KPK, menurut PBHI, dibalut propaganda dan kebohongan publik terkait pelanggaran oleh pegawai dan penyidik KPK dalam pemberantasan korupsi, hingga mengerahkan influencer/ buzzeRp yang menyebarkan hoaks soal ekstremisme Islam di lingkungan KPK.
“Faktanya tidak ada pelanggaran apapun, conviction rate KPK masih di 100%, dengan target menteri, anggota DPR dan selevelnya,” tulis PBHI dalam siaran pers yang diterima Qnews.co.id, Rabu (11/9).
Revisi UU KPK berdalih perbaikan dan pengawasan ketat telah menginisiasi terbentuknya Dewan Pengawas KPK. Hal itu justru menyalahi konsep pengawasan karena masuk ke dalam sistem pro-justitia, dengan diberikannya kewenangan ‘persetujuan’ pada perkembangan penanganan perkara dan ‘upaya paksa’.
Dengan kata lain, menurut PBHI, regulasi itu telah mengebiri kewenangan penyidik KPK dengan memperpanjang alur birokrasi pro-justitia yang artinya menambah titik celah intervensi.
“Selain itu, terdapat pula kewenangan SP-3 (penghentian penyidikan) sebagai penguat intervensi terhadap perkara,” tulis PBHI.
Pengamanan politik Jokowi
PBHI mencatat, pemberantasan korupsi pasca-Revisi UU KPK berubah total menjadi alat politik dan ‘pengamanan’ kasus korupsi yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi. Conviction rate menurun, ditambah maraknya korupsi di internal pegawai dan penyidik KPK, pungli rutan, hingga transaksi layanan seks.
Menurut PBHI, pansel KPK harus menggunakan kaca mata jujur dan obyektif melihat kondisi faktual di KPK saat ini. Artinya, pansel harus memilih calon Dewas KPK yang sudah tune in dengan kondisi KPK dan membenahi KPK.
“Soal fundamental seperti kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak tidak boleh mengandung cacat sedikit pun,” tulisnya.
Jika tidak, Dewas KPK yang baru akan menambah bencana pemberantasan korupsi di masa depan.
Waspada intervensi politik
PBHI mencatat, komposisi latar belakang profesi calon Dewas cukup beragam, mulai dari 6 ASN, 3 Jaksa, 8 Hakim, 6 Akademisi, hingga BPK, Ombudsman dan KSP.
Terkait komposisi calon Dewas, PBHI menyoroti beberapa hal. Pertama, para calon Dewas dengan latar belakang aparatur negara dan penegak hukum seharusnya mampu bersikap antikorupsi sejak di lembaga masing-masing.
“Faktanya, lembaganya sendiri justru berkali-kali diperiksa KPK hingga divonis penjara dalam kasus korupsi. Misalnya Hakim dan BPK,” tulis PBHI.
Kedua, pansel juga harus melihat kepentingan politik dari eksekutif dan legislatif yang ingin mengebiri pemberantasan korupsi lewat tangan Dewas.
“Artinya, calon Dewas yang berasal dari kedua kekuasaan politik betul-betul harus diwaspadai masalah independensinya,” tulisnya.
Ketiga, pansel KPK harus jeli menelisik jumlah dan fluktuasi harta kekayaan calon Dewas, khususnya yang tidak wajar dan fantastis. Mengingat sistem pelaporan LHKPN bersifat sepihak dan tidak ada penelusuran sumber sebagaimana mandat Pasal 20 UNCAC (Konvensi Antikorupsi PBB).
Pansel KPK harus berani mencoret calon Dewas yang terindikasi memiliki relasi politik dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif yang antiKPK dan prokorupsi.
“Jangan sampai gembar gembor pemberantasan korupsi seperti viralnya FUFUFAFA yang justru jadi ajang penghapusan jejak-jejak korupsi,” tulis PBHI.