Qnews.co.id, JAKARTA – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengungkapkan alokasi anggaran pendidikan kembali menuai polemik.
Hal itu dipicu pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di rapat kerja dengan Banggar DPR RI, Rabu (4/9). Saat itu, Sri Mulyani menggulirkan wacana tentang perubahan ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan.
“Itu dipicu kebutuhan atas fleksibilitas ruang manuver untuk mendukung program-program pemerintahan baru,” ujar Ubaid di Jakarta dalam keterangannya, Jumat (6/9).
Selama ini, kata Ubaid, besaran dana pendidikan 20% mengacu pada belanja negara. Cara penghitungannya, oleh Sri Mulyani, diusulkan diubah menjadi mengacu pada pendapatan negara, bukan belanja negara.
Baca juga: Dua Anggota Ormas yang Keroyok Pedagang Buah di Jakbar Jadi Tersangka, Terancam 5 Tahun Penjara
Ubaid menilai ada implikasi serius dari usulan tersebut. Usulan penghitungan dana pendidikan berpotensi memperburuk kualitas pendidikan dan memperparah kesenjangan layanan pendidikan.
“Secara langsung jika usulan itu disetujui, maka porsi besaran dana pendidikan dalam APBN akan menciut,” ujarnya.
Adapun saat ini, defisit anggaran dalam RAPBN 2025 telah ditetapkan pemerintahan sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53% dari produk domestik bruto (PDB).
Beberapa kalangan bahkan menganggap, defisit itu merupakan yang tertinggi dalam sejarah transisi masa pemerintahan.
Baca juga: Maju Pilkada Jakarta, Pramono Ajukan Pengunduran Diri kepada Presiden
“Berkaca dari pola keuangan negara yang defisit, dapat disimpulkan, besaran pendapatan negara pasti lebih kecil dibanding dengan komponen belanja,” papar Ubaid.
Dengan demikian, jika pendapatan dijadian sebagai acuan, maka besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena angkanya terus menyusut.
Berangkat dari kenyataan itu, JPPI menolak rencana pemerintah terkait anggaran pendidikan yang didasarkan atas pendapatan negara.
Apa yang dilakukan pemerintah adalah melarikan diri dari kewajiban konstiusional. Pasalnya, UUD 1945 pasal 31 menyebutkan pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan dan memperioritaskan alokasi anggaran minial 20% yang bersumber dari APBN dan APBD.
Baca juga: Kapolri dan Panglima TNI Tinjau Persiapan Misa Akbar
“Jadi yang dijadikan acuan adalah pendapatan dan pengeluaran, bukan hanya pendapatan,” tegasnya.
Jika hanya mengacu hanya pada pendapatan, besaran anggaran pendidikan akan berkurang dan dampak ikutannya akan memperburuk kualitas pendidikan seiring anggarannya yang mengecil.
“Kalau mau dianggap konstitusional, ya amandemen dulu UUD 1945 supaya bunyi ayat-ayatnya sama dengan usulan dan kehendak pemerintah. Kan konyol ini,” tegas Ubaid.
Menurut Ubaid, pemerintah sibuk dengan angka 20%, namun lupa apa saja dan berapa kebutuhan pendidikan. Ketimbang memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, seharusnya lebih produktif, jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendididkan.
Baca juga: Shin Tae-yong Ingin Tambah Penderitaan Australia
“Ini penting agar anggaran pendidikan tepat sasaran. Jangan seperti saat ini, entah anggaran pendidikan itu siapa yang menikmati,” paparnya.
Apa yang terjadi di masyarakat, memperlihatkan biaya sekolah semakin hari semakin mahal. Hal serupa juga terjadi pada biaya UKT kuliah yang kian tak terjangkau oleh semua kalangan.
“Belum lagi ditambah nasib guru honorer, sungguh sangat memperihatinkan,” kata Ubaid.
Karena itu, Ubaid mengingatkan, bicara tentang mandatory spending namun tidak mengetahui kebutuhannya berapa dan untuk apa aja, hal tersebut sama dengan bohong.
Baca juga: 20 Tahun Kasus Munir, Kawal Komnas Ham Cari Dalang Pembunuhan
Seharusnya setelah tahu kebutuhan untuk sektor pendidikan itu apa saja dan berapa, baru bisa dihitung dalam kerangka APBN dan APBD.
“Saya yakin kebutuhan dana pendidikan tak akan kurang dari 20% dari APBN dan APBD,” tegasnya.
Itu sebabnya, ketika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, secara otomatis pemerintah telah melaksanakan amanah konstitusi dan pendidikan. Hal itu jauh lebih berkualitas dan berkeadilan bagi semua.
Fakta lain, ungkap Ubaid, adalah buruknya serapan anggaran oleh pemerintah, bukan karena anggaran yang kebesaran. Hal itu turut diperparah dengan lemahnya implementasi di lapangan.
Baca juga: Blispi Youth Cup U-12 Putra dan U-15 Putri Road to Seri Nasional Resmi Bergulir di Semarang
Salah satu alasan menkeu memperkecil anggaran pendidikan, papar Ubaid, adalah problem serapan yang buruk. Jika hal itu dijadikan alasan pengurangan anggaran pendidikan, jelas-jelas salah alamat.
Ketika serapan anggaran pendidikan 4 tahun terakhir dianggap buruk, Ubaid mendesak agar pengelola programnya harus dievaluasi. Sebab, pemerintahan periode sebelumnya, tidak mengalami hal serupa.
“Harus dievaluasi, mengapa ini bisa terjadi, bukan malah besaran anggarannya dilucuti. Jadi yang harus diaudit adalah para pengelola anggaran, bentuk program, mekanisme pengelolaan, dan hal lain yang terkait langsung,” papar Ubaid.
Baca juga: Menpora Bangga Indonesia Terpilih Menjadi Tuan Rumah World Abilitysport Games 2025
Itu sebabnya, serapan anggaran pendidikan yang buruk, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengamputasi hak anak dalam mendapatkan dukungan dana dari pemerintah.
“Anggaran pendidikan sangat penting untuk penuntasan pendidikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi,” pungkasnya.