Qnews.co.id, JAKARTA – Analis Quotient Fund Indonesia Devin Emilian menjelaskan pergerakan harga tiga komoditas, yakni emas, perak, dan minyak untuk memahami situasi pasar terkini dan prospeknya ke depan.
Untuk emas (GLD – SPDR Gold Trust), kata Devin, harganya turun 0,2% ke USD2.648,21 per ounce. Secara teknikal, GLD tetap berada di dalam saluran naik dan mendekati level resistance kunci di Fibonacci sekitar USD248.
“Dengan RSI di 61,97, GLD mendekati kondisi overbought tetapi masih memiliki peluang untuk melanjutkan kenaikan,” ujar Devin kepada Qnews.co.id di Jakarta, Selasa (08/10)
Faktor momentumnya adalah enguatan dolar AS setelah data Nonfarm Payrolls (NFP) yang kuat menekan harga emas. Namun, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, terutama antara Israel dan Hezbollah telah meningkatkan permintaan terhadap emas sebagai safe haven.
Jika ketegangan geopolitik semakin memburuk, kata Devin, emas dapat naik hingga menembus USD2.700 per ounce atau lebih dalam jangka panjang.
“Resistance di sekitar USD248 menjadi titik kunci untuk reli lebih lanjut,” jelasnya.
Selanjutnya komoditas perak (SLV – iShares Silver Trust). Saat ini, ungkap Devin, harga perak turun 1,06% menjadi USD31,66 per ounce.
“Sebagian besar disebabkan oleh penguatan dolar AS dan kenaikan imbal hasil obligasi AS,” jelas Devin. RSI di 58,38 menunjukkan potensi bullish masih ada, dengan resistance utama di sekitar USD32.
Faktor momentumnya akibat permintaan industri yang kuat dari sektor energi terbarukan dan elektronik. Ditambah oleh ketegangan di Timur Tengah, telah mendorong harga perak.
“Potensi serangan di Selat Hormuz dapat meningkatkan permintaan perak sebagai aset aman,” kata Devin.
Secara prospek permintaan industri yang kuat, ditambah risiko geopolitik, akan menjaga tren bullish. “Namun, breakout di atas USD32 akan membuka potensi kenaikan lebih lanjut,” terangnya.
Berikutnya minyak (USO – United States Oil Fund). Saat ini, kata Devin, harga minyak melonjak dengan WTI naik 3,71% menjadi USD77,14 per barel dan Brent naik 3,69% ke USD80,93 per barel.
Menurut Devin, USO menembus resistance pertama dan mendekati level resistance kedua di sekitar USD82. RSI di 66,71 menunjukkan tekanan beli yang kuat.
Faktor momentumnya akibat ketegangan geopolitik di Timur Tengah, terutama konflik antara Israel dan Hezbollah serta potensi serangan Israel terhadap Iran, memicu lonjakan harga minyak.
Infrastruktur minyak Iran di Pulau Kharg, yang mengelola sekitar 90% ekspor minyak Iran, menjadi target potensial yang dapat menyebabkan gangguan pasokan global.
“Bahkan Selat Hormuz, jalur kritis untuk 20% ekspor minyak dunia, juga berada dalam risiko konflik,” kata Devin.
Pemotongan produksi OPEC+ juga menjaga harga minyak tetap tinggi. Sementara penguatan dolar AS telah membuat minyak menjadi lebih mahal bagi negara-negara selain AS.
Kebijakan suku bunga tinggi Federal Reserve juga ikut mempengaruhi permintaan minyak global sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Secara prospek harga minyak cenderung volatil dalam waktu dekat, terutama jika ketegangan di Timur Tengah meningkat.
“Jika gangguan tersebut begitu signifikan di Selat Hormuz, sangat terbuka kemungkinan harga melonjak lebih dari USD85 per barel,” katanya.
Sebaliknya, jika ketegangan mereda, harga minyak bisa terkoreksi, namun OPEC+ diperkirakan akan menjaga harga tetap tinggi melalui pemotongan produksi, menurut Devin.
Quotient Fund Indonesia adalah perusahaan konsultasi keuangan global, berkantor pusat di Quotient Center Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi hotline di 0811-1094-489.