Qnews.co.id, JAKARTA – Kasus penyerobotan tanah di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat, RT 25, RW 7, Lingkungan IV, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut) dengan korban Prof. Ing Mokoginta (80) seorang guru besar IPB masih belum menunjukkan titik terang.
Advokad Nathaniel Eliazar M. Hutagaol dari LQ Indonesia Law Firm menjelaskan korban belum mendapat titik terang karena tidak adanya manfaat hukum yang diraih, meskipun kepastian hukum telah ada.
“Itu artinya, Prof. Ing belum bisa menguasai tanahnya secara langsung,” paparnya kepada Qnews.co.id, Senin (7/10).
Berdasarkan dua putusan pengadilan, korban telah mendapatkan kepastian hukum terkait sengketa pertanahan yang dialami dalam tujuh tahun terakhir ini. Hanya saja, hak penguasaan kembali atas tanah tersebut tidak mudah dilakukan.
“Yang dituntut Prof. Ing adalah hak atas kepemilikan dan penguasaan tanah. Kita memiliki tetapi tidak menguasai,” jelasnya.
Menurut Nathaniel, LQ Indonesia Law Firm hadir untuk mendampingi dan membela kepentingan hukum Prof. Ing selaku pemberi kuasa dalam perkara Laporan Polisi Nomor: LP/541/XII/2020/Dit Reskrimum, Laporan Polisi Nomor: LP/460/IX/2021/SULUT/SPKT dan Pengurusan Eksekusi Tanah yang berada di RT 27/RW 5 Desa Gogagoman, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara belum menunjukkan kemanfaatan hukum bagi Prof. Ing.
Kepada Qnews.co.id, Nathaniel menceritakan ikhwal kasus tanah tersebut. Sengketa yang terjadi di Kotamobagu, Sulut itu terjadi atas tanah seluas hampir 18 ribu meter persegi.
Prof. Ing Mokoginta dan saudaranya dr. Sientje Mokoginta, kata Nathaniel, merupakan pemilik atas sebidang tanah seluas 1,7 hektar di Kota Kotamobagu berdasarkan SHM no 98 tahun 1978.
“Sertipikat yang dimiliki oleh Prof Ing merupakan sertipikat hak milik (SHM) yang merupakan turunan waris dari ibunya, Hoa Mokoginta,” paparnya.
Jika dihitung-hitung, kata Nathaniel, keluarga Prof. Ing telah menguasai tanah tersebut sudah lebih dari 50 tahun. Umumnya sertipikat tanah di Kotamobagu, berasal dari tanah kerajaan, bukan tanah negara seperti yang saat ini kebanyakan dimiliki masyarakat.
Munculnya klaim sepihak merupakan cikal bakal dari perkara ini. Ada pihak yang masih merupakan bagian dari anggota keluarga besar mengaku memiliki sertipikat tanah tersebut.
“Klaimnya menyatakan mereka sebagai pemilik tanah berdasarkan tanah negara, bukan tanah kerajaan. Sebuah klaim yang sangat diragukan kebenarannya,” kata Nathaniel.
Sengketa tanah itu, ungkap Nathaniel, berawal ketika keluarga Stella Mokoginta Cs mengaku memiliki sertipikat hak milik No. 2567 tahun 2009, dimana pemegang hak diketahui bernama Marthen Mokoginta.
Menurut Nathaniel, Marthen Mokoginta merupakan orang tua dari Stella Mokoginta. Adapun Stella Mokoginta merupakan sepupu kandung Prof. Ing Mokoginta.
“Ibu Prof. Ing, mami Hoa adalah kakak tertua dari bapaknya Stella yang bernama Marthen,” ujar Nathaniel.
Mami Hoa, kata Nathaniel memiliki empat orang anak. Yang tertua adalah Linda Mokoginta yang kini sudah meninggal dan sempat menetap di Amerika. Anak kedua adalah dr. Sientje Mokoginta (81) yang memilih tinggal di Kupang, NTT.
“Anak ketiga adalah Prof. Ing, dan keempat laki-laki, John Mokoginta. Istrinya John adalah Inneke Indriani berusia 71 tahun,” paparnya.
Kisruh ini mencuat, ketika Kasi Kadademahe, seorang penjaga tanah milik Prof. Ing diusir secara paksa oleh Stella Cs pada tahun 2006. Alasannya, Stella merupakan pemilik sah dari tanah tersebut.
“Pada saat itu, Stella tidak menunjukkan hak kepemilikan tanahnya. Kasi yang mengetahui mereka masih bersaudara akhirnya secara suka rela meninggalkan tanah tersebut,” jelas Nathaniel.
Setelah itu, informasi terkait pengusiran Kasi terdengar ke telinga Linda Mokoginta yang saat itu berada di Bitung, Sulawesi Utara. Linda lalu memberitahukannya kepada sang adik Prof. Ing perihal penyerobotan tanah.
Pada tahun 2017, Prof. Ing menyempatkan diri berkunjung ke Kotamobagu. Di situ ia sangat kaget saat menyaksikan sudah banyak bangunan berdiri di atas tanah miliknya.
“Prof. Ing kemudian menghubungi Stella Mokoginta. Lalu terjadilah pertemuan di Aston Hotel Manado. Saat itu, Prof. Ing ingin membicarakan secara kekeluargaan perihal sengketa lahan tersebut,” papar Nathaniel.
Stella yang hadir di pertemuan itu, justru menantang Prof. Ing. Ia mempersilahkan Prof. Ing untuk menyelesaikan perkara tersebut ke pengadilan.
“Dari pertemuan keluarga itu, timbullah konflik selama 7 tahun yang tak kunjung selesai, sejak tahun 2017,” bebernya.
Pasca-kejadian malam itu, Prof. Ing, kata Nathaniel, menggugat Stella Mokoginta yang merupakan istri dari seorang pengusaha besar di Manado, Sulawesi Utara. Pengusaha yang diketahui memiliki banyak pengaruh di Sulawesi Utara.
“Nama pengusaha tersebut adalah Harry Kindagen,” ujarnya.
Prof. Ing mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado untuk membatalkan sertipikat yang diakui asli oleh Stella Cs.
Secara perlahan, proses hukumnya berujung inkrah. PTUN Manado menyatakan sertipikat yang berlaku dan diakui hanyalah sertipikat tanah yang dimiliki Prof. Ing, bukan sertipikat milik Stella Cs.
“Artinya Prof Ing menang di PTUN dan diakui sebagai pemilik sah dari tanah seluas 17 ribu hektar,” kata Nathaniel.
Putusan inkrah PTUN Manado menyatakan secara sah telah dibatalkannya sertipikat atas kepemilikan Stella Mokoginta dan menguatkan kedudukan pemilik sah tanah Gogagoman seluas 17.996 M2 dengan nomor sertipikat hak milik Nomor 98 tahun 1978.
Setelah itu, Stella ternyata tidak tinggal diam. Secara keperdataan, ia menggugat ke Mahkamah Agung menggunakan fotocopy sertipikat tanah yang sudah dibatalkan oleh PTUN Manado.
Kasus itu kemudian bergulir di Mahkamah Agung hingga keluarnya putusan peninjauan kembali (PK). Putusan PK Stella CS dinyatakan ditolak oleh hakim MA pada Februari 2024.
“Ini menandakan kasus tanah milik Prof.Ing telah memiliki kekuatan hukum tetap,” jelas Nathaniel.
Tanah yang terletak di Jalan Dayanan RT 10/25, Lingkungan IV, Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu barat, Kotamobagu atas nama Hoa Mokoginta dengan ahli waris Linda Mokoginta, Sintje Mokoginta, Ing Mokoginta dan John Mokoginta dinyatakan sebagai pemilik.
Dari kasus tersebut, kata Nathaniel, masyarakat perlu berhati-hati menyikapi maraknya mafia tanah. Selanjutnya, ia berharap semua pihak yang terlibat dalam dugaan tindak pidana pemalsuan surat hingga menjadi sertipikat tanah harus diungkap dan diproses secara hukum.
“Agar menjadi pembelajaran terhadap para mafia tanah sehingga tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan,” tandasnya.