Pernyataan Prof. Jimly Mengancam Independensi Hakim PTUN

Dalam perkembangan terbaru terkait kemungkinan pembatalan pelantikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pernyataan dari Prof. Jimly Asshiddiqie telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik dan pakar hukum. Foto: dkpp

Qnews.co.id, JAKARTA – Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah Gufroni menyayangkan pernyataan Prof. Jimly Asshiddiqie terkait kemungkinan pembatalan pelantikan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pernyataan Prof. Jimly telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan publik dan pakar hukum. Pasalnya ia menyebut hakim PTUN bisa ditangkap apabila membatalkan pelantikan Gibran sebagai bentuk ancaman yang serius.

Bacaan Lainnya

“Ancaman serius terhadap independensi lembaga peradilan, khususnya hakim PTUN yang tengah menjalankan tugasnya dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Gufroni di Jakarta, Sabtu (12/10).

Sejumlah pakar hukum menilai pernyataan tersebut berpotensi mengganggu prinsip kebebasan hakim dalam menghasilkan putusan terbaik berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku.

Setiap hakim, ujar seorang ahli hukum tata negara, dalam menjalankan tugasnya harus terbebas dari segala bentuk tekanan atau ancaman. Baik ancaman yang berasal dari pihak eksekutif, legislatif, maupun masyarakat umum

Lebih jauh, menurut Gufroni, pernyataan tersebut tidak lebih sebagai bentuk intimidasi yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan.

Prof. Jimly, kata Gufroni, sebagai seorang figur publik dan pakar hukum tata negara, telah melakukan tindakan yang kurang tepat. Akibat pendapat tersebut, kepercayaan publik terhadap proses peradilan yang adil dan merdeka bisa turun.

Belakangan beberapa pihak telah menuntut agar Prof. Jimly segera dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran pasal pengancaman, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal yang relevan dalam hal ini, menurut Gufroni, adalah Pasal 368 KUHP yang mengatur tentang ancaman terhadap orang lain. Khususnya terhadap pejabat publik seperti hakim yang tengah menjalankan tugasnya.

“Sebagai negara hukum, Indonesia selalu mengedepankan supremasi hukum, dan terbebas dari segala bentuk intervensi,” tegasnya.

Intervensi terhadap proses peradilan harus segera dihentikan. Hal itu demi menjaga marwah lembaga peradilan dan kepercayaan masyarakat.

Selanjutnya masyarakat bisa tetap mempercayakan proses hukum yang berjalan dan mengedepankan penghormatan tertinggi terhadap putusan hakim.

“Apapun hasilnya, independensi lembaga peradilan itu merupakan pilar utama untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi yang sehat di Indonesia,” tutupnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan