Qnews.co.id, KOTAMOBAGU – Advokat Franziska Runturambi dari LQ Indonesia Law Firm menjelaskan pemasangan plang yang dilakukan di atas lahan yang terletak di RT 27/RW 5 Desa Gogagoman, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara itu merupakan pengumuman kepada warga sekitar bahwa Prof. Ing Mokoginta bersaudara merupakan pemilik sah atas tanah seluas hampir 1.8 hektar.
“Putusan PK terakhir, Prof. Ing Mokoginta, Dr. Sientje Mokoginta dan Ibu Inneke S Indrarini adalah pemilik sah atas tanah yang saat ini kami tangani,” ujar Franziska saat konferensi pers di Desa Gogagoman, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Selasa (8/10).
Franziska menjelaskan penyerobotan tanah milik Prof. Ing Mokoginta telah menghasilkan dua putusan berkekuatan hukum tetap. Pertama, putusan yang menyatakan asal tanah itu adalah SHM nomor 98 tahun 1978 dan tidak pernah berubah sejak saat itu.
“Kemudian terbit SHM 2567 dan sudah digugat, di PTUN Manado, sampai putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung yang dimenangkan oleh Prof. Ing. Mokoginta Cs. Juga sudah dilakukan eksekusi oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ditariknya sertifikat 2567 bersama turunan sertifikat di bawahnya,” paparnya.
Putusan kedua, kata Franziska, putusan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh pengugat yaitu Stella Mokoginta Cs dengan melakukan gugatan dari tingkat pengadilan negeri lalu naik ke pengadilan tinggi, kasasi dan juga berakhir dengan peninjauan kembali (PK).
“Sampai dengan putusan inkrah PK itu dimenangkan oleh Prof. Ing Mokoginta Cs. Makanya kami memberikan penegasan kepada pihak-pihak yang menempati tanah ini bahwa sekaligus pemberitahuan yang jelas dan tegas, bahwa jangan lagi ada pihak-pihak yang mengaku-ngaku ahli waris yang sah atau mengaku-ngaku memiliki sertipikat atas tanah ini,” terang Franziska.
Karena tanah ini, kata Franziska, sertifikatnya hanya ada satu, yakni SHM nomor 98 tahun 1978 atas nama Prof. Ing Mokoginta, Dr. Sientje Mokoginta dan Ibu Inneke S Indrarini selaku ahli waris yang sah.
Selain itu, Franziska mengungkapkan pemasangan plang telah diketahui oleh warga yang menempati lokasi itu secara illegal. Kepada penghuni telah dilakukan pertemuan, termasuk pemberitahuan atas status hukum terkini dari lahan yang mereka tempati.
“Kami juga sudah melakukan pertemuan dan ini ada beberapa warga yang menempati yang bisa dikatakan tertipu, karena mereka menjual kepada bapak-bapak ini. Mereka mengaku tanah ini adalah milik mereka, padahal tanah ini bukan milik mereka,” paparnya.
Hendrik Liono, salah seorang pembeli tanah menuturkan ikhwal pembelian tanah tersebut. Menurutnya, ia tertarik membeli karena melihat adanya sertipikat atas tanah tersebut.
Pembelian tanah dilakukan Hendrik pada tahun 2010 dari seseorang bernama Maxi Mokoginta. Ia membeli tanah seharga Rp40 juta.
“Orang-orang juga sudah beli, ada sertipikat, jadi orang-orang suka beli. Lalu di pertanahan sudah keluarkan sertifikat ke orang-orang,” jelas Hendrik di lokasi konpers.
Menurut Hendrik, sertipikat tanah itu diketahui atas nama Maxi. Sertifikat dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kotamobagu, Sulawesi Utara.
“Orang-orang kan beli melalui pertanahan, bukan beli cuma asal-asal. Orang-orang minta kalau ada sertifikat, satu lagi yang timbul ganda,” katanya.
Pada saat konferensi pers, Hendrik menuturkan, dirinya selalu berhati-hati saat melakukan transaksi jual beli, termasuk untuk urusan tanah. Ia akhirnya bersedia membeli tanah sengketa, karena percaya dengan sertipikat yang ditunjukkan kepada dirinya.
“Jadi, tahun 2018 timbul sengketa. Dulu kita bayar, kalau orang tahu, itu orang tidak gila mau membeli,” ujarnya.
Pasca-keluarnya putusan MA no.29 PK/Pdt/2024 yang telah berkekuatan hukum tetap, Hendrik mengaku akan menerima semua konsekuensi atas putusan tersebut. Dirinya juga bersedia untuk keluar dari lokasi sengketa dan tidak akan melakukan perlawanan.
“Kalau memang itu, kita minta waktu kalau harus keluar. Karena kita bersalah. Kita langsung kalah kan. Tidak mau membuat apa lagi,” tegasnya.
Sementara terkait gugatan kepada Maxi Mokoginta, menurut Hendrik hal itu sangat terbuka dilakukan. Hanya saja dalam waktu dekat, ia hanya ingin bertemu Maxi untuk menanyakan kejelasan tanahnya yang ternyata milik orang lain.
“Ya, nanti mau dibicarakan, nanti mau tanya dulu sama dia. Nanti saya mau negosiasi dengan dia, termasuk langkah hukum yang mungkin diambil,” paparnya.
Lebih jauh, Hendrik menuturkan, pihaknya sangat menantikan itikad baik dari Maxi, karena dari dialah semua masalah ini berawal. Karena ia yang telah memulai, maka ia juga yang harus mengakhirinya, termasuk dengan mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan.
“Siapa tahu dia ada itikad baik, kami menanti hal itu,” ujar Hendrik.
Di kesempatan yang sama, Advokad Nathaniel Eliazar M. Hutagaol dari LQ Indonesia Law Firm mengingatkan tentang potensi sejumlah orang dari pembeli yang akan dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Pasalnya, beberapa waktu lalu, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri telah mengeluarkan hasil gelar penetapan tersangka.
“Sebenarnya kami pada prinsipnya, ketika ada penantapan tersangka, nama orang-orang yang menempati di tempat ini, kami miris,” katanya.
Nathaniel menambahkan, “Kenapa kami miris? Begini, pembeli itu bisa kena menjadi tersangka, terus penjualnya bagaimana? Muara perkara ini dari penjual, dan lebih muara dari penjual itu adalah BPN Kotamobagu. Kenapa BPN Kotamobago menerbitkan sertifikat?”
Apabila tidak ada sertifikat ganda, kata Nathaniel, tidak mungkin warga membeli tanah tersebut.
“Maka kami minta kepada penyidik Mabes Polri untuk tegas menindak semua yang menjadi pelakunya. Jangan lagi di-oper kesana, ke mari, kasihan,” tegasnya.
Termasuk, jangan sampai ada orang-orang yang harus dikriminalisasi. “Tekan penjualnya, tekan siapa yang menerbitkan sertifikat. Jangan mereka (penghuni), buat apa? Mau tukar guling? Jangan sampai seperti itulah, ini hukumnya harus tegak.”
Karena itu, Nathaniel meminta Kapolri dan Kabareskrim agar bersikap tegas dan netral demi tegaknya keadilan di perkara ini.
“Ini sudah tujuh tahun pak, lima tahun di Polda Sulut, dua tahun di Mabes Polri, tapi tidak kunjung usai,” ungkap Nathaniel.
Belakangan, malah muncul nama-nama tersangka baru, yang menurut Nathaniel, hal itu jauh di luar nalar. “Karena itu, kami juga minta untuk semua jajaran, jangan bermain-main. Siapapun yang bermain, kami akan tegas mengadukannya,” ucapnya.
Terkait dengan maraknya kasus yang melibatkan mafia tanah, LQ Indonesia Law Firm selalu terbuka untuk membantu masyarakat. Hal itu demi terwujudnya keadilan bagi rakyat kecil.
“Bagaimana kita bicara mafia tanah diberantas apabila oknumnya masih ada di BPN Kotamobagu. Itu dulu diberantas, dari dalam, jangan dari luar,” pinta Nathaniel.
Ia menambahkan, “Kita bicara mafia tanah, buat apa? Oknumnya masih hidup tenang, oknumnya terima gaji, buat apa?
“Oknum itu ditindak, bukan dipelihara. Dapat gaji, dapat tunjangan. Langsung aja miskinkan penjarakan,” tandasnya.